MENGENAI JILBAB
PENDAULUAN
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam yang didalamnya
memuat berbagai tatanan kagamaan yang universal dan mencakup segala macam aspek
kehidupan umat manusia, dia diyakini juga tidak akan pernah lekang dan lapuk
dimakan zaman. Jika pada masa awal Islam,
penafsiran terhadap sudah bisa diwakilkan Muhammad saw. secara langsung.
Namun setelah wafatnya Rasulullah saw berbagai penafsiran semakin beragam yang
kesemuanya bermuara untuk mendapatkan pemahaman yang mendekati kebenaran
terhadap pesan yang terkandung dalam al-Quran tersebut.
Sempitnya teks al-Quran dan semakin kompleksnya
pelbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia, menuntut para mufassir
untuk terus memperbaharui pemahanan bahkan pada tingkatan metodologi penafsiran
guna mendapatkan intisari dan menjawab berbagai permasalahan tersebut. Jika
pada masa dahulu (klasik) kita temukan metodologi penafisran berupa tafsir bi
al-Ma’tsur, bi al-Ra’yi, dan bi
al-Isyari. Pada masa modern, kita temukan pengembangan penafsiran tersebut,
berupa tafsir kontemporer yang meliputi tafsir maudhu’i, bahkan al-Quran tidak
lepas dari pendekatan hermeneutika.
Banyaknya metodologi penafsiran yang digunakan untuk
memahami al-Quran tersebut, sebenarnya mengindikasikan eksistensi al-Quran itu
sendiri sebagai kitab suci yang tetap relevan untuk dianalisa dan dipahami
diberbagai waktu dan situasi.
Salah satu tema yang
sempat menjadi pembahasan hangat adalah seputar “Hijab”. Pada ranah
regional, permasalahn seputar hijab dibeberapa daerah sudah dimasukkan dalam
sebuah peraturan pemerintah (Aceh dan Padang). Untuk ranah international, “hijab” menjadi issu yang hangat dengan berbagai
kebijakan negara yang tidak berpihak pada kaum muslimah dengan adanya kebijakan
larangan menggunakan hijab ditempat-tempat umum. Masalah demi masalah silih
berganti menyebabkan adanya gerakan reintrepretasi ayat-ayat Hijab tersebut.
Dalam makalah
ini, peneliti tertarik untuk membahas kembali ayat yang berkenaan dengan
pembahasan “Hijab” yang difokuskan pada surah al-Nur: 30-31, dengan harapan
semoga memberikan informasi lebih mengenai “Hijab” yang selanjutnya dapat kita
amalkan bersama. Amin.
B.
PEMBAHASAN
Kata Hijab, berasal
dari bahasa arab yang berarti penutup, tabir, tirai, layar atau sekat, kata ini merupakan
bentuk mufrad dari kata “Hujub”. Dan merupakan benuk Mashdar dari kata Hajaba-Yahjubu Hajban/ Hijaban.
Pada perkembangannya, kata ini dikonotasikan sebagai penutup aurat, seperti
halnya al-Shabuni, yang membuat Bab khusus pembahasan tentang Hijab dan
pandangan. Oleh karena itu, dalam makalah ini, peneliti memaksudkan kata hijab
sebagai penutup aurat. Adapun ayat yang membahas tentang pembahasan penutup
aurat ini, tersurat dalam surah an-Nur ayat 30-31, sebagai berikut:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung” (Al-Nur : 30-31)
1.
Sekilas Tentang Surat al-Nur
Surat an-Nur adalah
surat yang tergolong pada Madaniyah, yakni surat yang turun setelah Hijrah ke Madinah. Jumlah ayatnya berjumlah 64 ayat. diambil dari kata
An Nuur yang terdapat pada ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah s.w.t. menjelaskan
tentang Nuur Ilahi, yakni Al Quran yang mengandung petunjuk-petunjuk.
Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi
alam semesta. Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk- petunjuk Allah
yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga
2.
Uraian Kata (al-Tahlil al-Lafdzi)
a.
يَغْضوا kata ini berasal dari kata غض يغض yang berarti menundukkan, memjamkan, mengurangi mempertemukan dua
kelopak mata sehingga mencegah pengelihatan sedangkan yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah menundukkan / memalingkan pengelihatan
kepada hal yang tidak diharamkan.
b.
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ, sebagaian ulama tafsir
mengatakan yang dimaksud lafadz ini adalah menutup aurat agar tidak terlihat,
dan sebagian lagi mengatakan, maksud lafadz ini adalah mencegah dari zina. Sementara ini Imam
al-Qurthubi mengatakan bahwa kedua maksud ini dapat dibenarkan melihat teks
yang umum (memiliki intrepretasi bermacam-macam)
c.
أَزْكَى, berasal dari kata زكاة yang berarti suci secara batin. Sehingga maksudnya
adalah, lebih mensucikan hati dan agama
d.
خَبِيرٌ, asal kata dari الخبرة yang berati pengalaman,
pengetahuan pemahaman yang
mendalam sampai pada hakikat sesuatu.
e.
زِينَتَهُنَّ,. Kata الزينة berarti sesuatu yang digunakan perempuan untuk
berhias, baik berupa baju, atau perhiasan lain. Bentuk aktualisasinya pada
zaman saat ini biasanya diistilahkan dengan التجمل (bersolek).
Menurut al-Qurthubi, Perhiasan terbagi menjadi dua, Khalqiyah dan Muktasabah.
1)
Khalqiyah : adalah hiasan yang sudah
ada sejak penciptaan
2)
Muktasabah : merupakan hiasan
yang timbul setelah proses usaha, seperti baju, perhiasan yang digunakan,
celak, bedak dan lain sebagainya
f.
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا, sebagian Ulama
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan redaksi ini adalah sesuatu yang
dibutuhkan untuk diperlihatkan, seperti pakaian, kutek, cincin, atau
berupa hal yang tidak mungkin untuk ditutup. Sementara itu, pendapat sebagian
yang lain, menegaskan bahwa redaksi tersebut memberi pengertian, “kecuali hal
yang tanpa sengaja terlihat”. Namun, terdapat pendapat lain, yang menegaskan
bahwa maksud redaksi ini adalah “wajah, dua telapa tangan, dan gigi perempuan.
Perbedaan ini akan memberikan implikasi terhadap hukum.
g.
بِخُمُرِهِنَّ , Ibnu Katsir menegaskan bahwa yang dimaksud dengan الخمر merupakan bentuk dari
kata mufrad الخمار yang berarti tudung, tutup kepala wanita, tutup alat untuk menutup
kepala, atau yang pada saat ini disebut dengan “al-Maqani’ “, sementara itu dalam Lisanu al-‘Arab,
disebutkan “الخمر merupakan bentuk kata mufrad الخمار, merupakan
alat yang digunakan untuk menutup kepala perempuan, sehingga apapun yang
menutup kepala perempuan bisa dikatakan “Khimar” secara bahasa.
h.
جُيُوبِهِنَّ, الجيوب jama’ dari kata “الجيب “, al-Imam al-Alusi mengatakan bahwa “الجيب “, pada umumnya bermakna “saku” yang berada pada baju.
Namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah, “Allah swt. Memerintahkan para
wanita menutup bagian atas dada mereka, sekiranya tidak dilihat”
i.
بُعُولَتِهِنَّ, Kata بعولة adalah bentuk jama’ dari kata بعل dalam masyarakat arab kata ini berarti “Suami atau
Majikan/ Sayyid”.
j.
أَيْمَانُهُنَّ, Berarti budak, baik
laki-laki maupun perempuan.
k.
غير أولى الإربة“kebutuhan”,
maksud dari redaksi ini adalah orang yang tidak memiliki nafsu birahi kepada
perempuan, seperti orang yang bodoh, atau siapapun yang memang tidak memiliki
hasrat kepada lawan jenis.
l.
الطفل Berarti anak kecil,
kata ini bisa menunjukkan Jama’, hal ini terbukti dengan redaksi selanjutnya
yang menunjukkan jama’.
m.
لم يظهروا maksudnya adalah “tidak memahami”, sehingga
maksud dari redaksi “لم يظهروا ” ialah anak kecil yang belum memahami
pengaruh relasi antar lawan jenis
3.
Pemahaman Secara Umum (Al-Ma’na al-Ijmali)
Dalam ayat ini,
seakan-akan Allah swt. memintahkan Rasulullah saw. dengan berfirman, “wahai Muhammad, dan para
pengikutmu, hendaklah kalian menutup pandangan kalian, dan mencegah mata kalian
untuk melihat kepada wanita yang bukan mahram, dan hendaklah tidak melihat
hal-hal yang diharamkan (tidak dihalalkan), dan jagalah “kemaluan” kalian dari
zina, dan hendaklah menutup aurat, sehingga tidak seorangpun yang melihatnya.
Karena hal itu, baik dan suci bagi hatimu, dan lebih dapat menjaga dirimu untuk
melaksanakan pekerjaan yang tidak baik. Pandangan (kepada yang diharamkan) akan
menumbuhkan “Nafsu Birahi” dalam hati. Sedangkan Nafsu birahi, dapat dipastikan
menyebabkan kesedihan berkepanjangan.
Namun apabila, tanpa disengaja
melihat perkara yang diharamkan, maka hendaklah segera mungkin untuk
memalingkan pendangan tersebut, sesungguhnya Allah swt. mengetahui apa yang
kalian pandang.
Kemudian Allah swt.
melanjutkan firmanNya, berkenaan tentang perempuan agar mereka juga menjaga
pandangan dan kemaluannya, namun pada
ayat ini Allah swt. lebih memberikan titik tekan daripada kepada kaum
laki-laki, dengan bentuk larangan
memperlihatkan perhiasan keculi kepada saudara mahramnya. Hal ini lebih mulian
bagi perempuan (daripada diperlihatkan kepada selain mahram), kecuali apabila
tanpa disengaja perhiasan tersebut dilihat orang lain, maka para perempuan ini
tidak mendapatkan dosa. Hal ini dikarenakan, dahulu kala, para perempuan
terbiasa lewat didepan laki-laki yang bukan mahram dengan busana yang tidak
menutup dada mereka, dan melipat lengan. Sehingga Allah swt. menurunkan ayat
ini agar mereka (perempuan) tidak memperlihatkan dadanya, dengan cara
memanjangkan penutup (kerudung/ jilbab), dan Allah swt. juga memerintakan para
perempuan untuk tidak menginjakkan kakinya dengan keras ketika berjalan, karena
hal itu dapat menyebabkan hati orang-orang terganggu.
Pada akhir ayat ini,
Allah swt. menyeru pada kaum laki-laki dan kaum perempuan agar kembali kepada
Allah swt. (taubat), sehingga mereka tergolong orang yang menang (baik)
4.
Asbabu al-Nuzul
Terdapat dua riwayat
tentang sebab turunnya ayat diatas, antara lain sebagai berikut :
a.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah
hadits, dari sahabat Ali Ra. Dia bercerita “suatu ketika pada zaman
Rasulullah saw. ada seorang pemuda yang melihat perempuan, dan perempuan
itu-pun juga melihat pemuda itu. Pada
saat itu Syetan mulai mengganggu mereka berdua, sehingga mereka berdua
sama-sama merasa kagum melihat orang yang dipandang. Pemuda itu lantas
melanjutkan perjalanannya sambil tetap melihat perempuan itu, namun ketika
sudah hampir sampai disebuah pinggiran, pemuda itu menabrak semacam tembok,
sampai mulutnya terluka. Kemudian pemuda itu berkata “ demi Allah swt. aku
memandikan darahku ini, sampai akhirnya aku mendatangi Rasulullah untuk
menayakan prihal ini. lantas pemuda itu datang kepada Rasulullah saw. dan
pemuda itu menceriakan kisahnya, Rasulullah saw. bersabda “inilah balasan
dosamu”, kemudian Allah swt. menurukan ayat 30.
b.
Ibnu Katsir meriwayatkan sebuah
hadits dari Muqatil bin Hayyan, dari Jabir bin Abdullah al-Anshari,
berkata “ada sebuah kabar, bahwa Jabir bin Abdullah al-Anshari, suatu ketika
bercerita tentang Asma’ Binti Murtsid, yang ketika itu berada disebuah
ladang kurmanya di kabilah Haritsah, kemudian datanglah beberapa orang
perempuan, yang kesemuanya mengenakan “Gelang Kaki”, dan mereka juga
memperlihatkan dada-dadanya, kemudian Asma’ berkata: “ betapa jeleknya
hal ini?”, kemudian Allah swt. menurunkan ayat 31
5.
Ayat-ayat yang terkait
a.
Surah al-Ahzab ayat 32-33
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ
لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا (32) وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ
اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا (33)
Hai isteri-isteri Nabi,
kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (32) dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul baitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33) .
Dalam ayat diatas terdapat redaksi “التبرج “, yang
berarti bersolek/ berhias, mempertontonkan kecantikan dan perhiasan, artinya Allah swt. Dalam ayat ini melarang perempuan
untuk berhias/ bersolek/ berbusana seperti yang dilakukan perempuan kafir pada
masa Jahiliyah (Sebelum Islam) yakni dengan
b.
Surah al-Ahzab ayat 59
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kata جَلَابِيبِهِنَّ merupakan Jama’ dari kata جلباب yang berarti
baju kurung panjang sejenis jubah atau
selendang yang digunakan diatas kerudung Dalam ayat
ini Allah swt. Secara umum memerintahkan Rasulullah saw. agar para perempuan
menutup bagian atas dada mereka. Bahkan Ibnu Abbas menegaskan, bahwa Umahtul
Mukminin (Istri-istri Rasulullah saw. diwajibakan menutup seluruh tubuh
mereka kecuali mata (digunakan untuk melihat), hanya sebagai tanda bahwa mereka
bukan budak”
6.
Beberapa Hukum Berkenaan Dengan Ayat
a.
Hukum melihat kepada bukan mahram
Secara garis besar,
diperkenankan bagi seseorang (Baik laki-laki, maupun perempuan) melihat orang
lain yang lawan jenis, dan bukan mahram. Hukum ini berlaku, ketika pandangan
tersebut dapat mendatangkan nafsu birahi, dan menimbulkan “fitnah”.
Namun syariat, masih memperkenankan hanya pada pandangan pertama, bukan yang
kedua. Seperti yang
ditegaskan Rasulullah saw. pada perkataanya kepada sahabat Ali Ra. dalam sebuah
hadits : “Wahai ‘Ali, janganlah kau ikutkan pandangan pertama, dengan pendangan
kedua, diperkanankan bagi pandangan pertama (tanpa sengaja), dan tidak
(diperkenankan) untuk yang pandangan yang kedua kalinya” (HR. Imam Ahmad dan
al-Tirmidzi)
b.
Perbedaan pendapat tentang aurat laki-laki dan
perempuan
Redaksi “dan memelihara
kemaluannya” dalam ayat diatas, menimbulkan beberapa pendapat antara para
ulama, mengenai batasan aurat. Disisi lain, mereka sepakat, bahwa aurat tidak
diperbolehkan dilihat atau diperlihatkan pada orang lain yang bukan mahram Perbedaan pandapat
tersebut, bermuara pada klasifikasi aurat, sebagaimana berikut ini :
1)
Aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain
Menurut jumhur ulama,
aurat laki-laki dihadapan laki-laki lain, adalah selain diantara pusar dan
lutut, sehingga selainnya diperkenankan dilihat. Hanya saja, Imam
malik mengatakan bahwa paha tidak termasuk aurat.
2)
Aurat perempuan dihadapan perempuan lain
Tidak jauh berbeda
dengan sebelumnya, Aurat perempuan dihadapan perempuan lain, juga hanya selain
pusar dan lutut.
3)
Aurat Laki-laki dihadapan perempuan
Aurat laki-laki
dihadapan perempuan bukan mahram, sama halnya laki-laki dihadapan laki-laki,
namun terdapat pendapat dha’if yang mengatakan bahwa Aurat laki-laki dihadapan
perempuan adalah seluruh badannya. Namun, jika laki-laki yang dimaksud adalah
suaminya sendiri, maka seluruh badannya diperbolehkan dilihat dengan
berlandaskan umunya maksud ayat al-Quran surah al-Ma’arij ayat 30,dan
al-Mukminun ayat 6
إِلَّا عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela”
4)
Aurat perempuan dihadapan laki-laki.
Khusus pembahasan ini,
para ulama berbeda pendapat, antara dua golongan :
a)
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,
seluruh badan perempuan merupakan aurat yang wajib ditutup. Bahwan Imam Ahmad
bin Hanbal berkata “Kuku perempuan juga termasuk aurat yang wajib ditutup” Terkecuali ketika ada
kebutuhan, seperti ketika menjadi saksi, atau proses bertunangan.
b)
Menurut Malikiyah dan Hanafiyah,
mengatakan bahwa Aurat perempuan yang tidak termasuk aurat adalah wajah dan
kedua telapak tangan. Pendapat ini dilandasi dengan penafsiran ayat al-Quran “Kecuali apa yang
tampak dari perempuan”, dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud selain ini, mereka
mengatakan bahwa salah satu alasan lain yang menguatkan bahwa wajah dan telapak
tangan bukan merupakan aurat yang wajib ditutupi, ialah hukum wajib membuka
kedua anggota tubuh tersebut ketika shalatdan haji.
c.
Orang –orang yang berstatus Mahram
Setelah dijelaskan
tentang hukum melihat/ memandang selain mahram, dan perbedaan ulama tentang
batasan aurat, kemudian Allah swt. menjelaskan tentang orang-orang yang
diperbolehkan untuk melihat aurat tersebut atau biasa diistilahkan dengan “mahram”.
Dalam ayat an-Nur ayat 31, disebutkan beberapa mahram, yakni: suami (Bu’ulah),
Orang tua kandung (Aba’), Ayah suami/ Mertua (Aba’ Bu’ulah), Anak
kandung dan anak suaminya,
saudara-saudaranya (kandung, atau seibu, atau se ayah) anak-anak saudara
atau saudari kandungnya. Selain itu terdapat pula bukan mahram, namun tetap
diperbolehkan bagi wanita tidak menutup aurat dihadapannya, yakni “Ghoiru
Uli al-Irbati” Secara umum mereka
adalah orang yang tidak memiliki keinginan (nafsu birahi) kepada perempuan.
d.
Tatacara penggunaan Hijab
Sebenarnya, dalam ayat
ini tidak disebutkan bagaimana tatacara menggunakan hijab sebagai penutup aurat,
banyak para mufassir yang menafsirkan surah al-Ahzab ayat 59. Dan sebenarnya perintah menutup aurat ini
bukan hanya sekedar “budaya atau tradisi”, namun lebih itu sebagaimana
pelaksanaan perintah Allah swt. oleh
karena itu, al-Shabuni menegaskan, perintah menutup aurat bagi perempuan
sebenarnya sama halnya kewajiban melaksanakan shalat dan puasa, sehingga
perempuan akan dianggap “murtad” ketika tidak mempercayai kewajiban ini, dan
dihukumi berdoa jika melalaikannya
Terdapat beberapa
tatacara yang dijelaskan para ulama menafsiri surah al-Ahzab ayat 59, antara lain :
1)
Ibnu Jarir al-Thabari, menegaskan, terdapat sebuah
riwayat dari Ibnu Sirin. Suatu ketika Ibnu Sirin bertanya kepada ‘Abidah
al-Salmani menganai pemahaman ayat tersebut, lalu dia mendemontrasikan tatacara
penggunakan hijab, yaitu dengan menutup seluruh kepalanya dengan kain, sampai
kain tersebut menutup seluruh sisi tubuhnya, dan membuka kain bagian kiri.
2)
Ibnu Jarir dan Ibnu Hayyan, meriwayatkan dari sahabat
Ibnu Abbas, dia mengatakan, tatacara penggunaan hijab adalah, dengan menutup
seluruh kepala dan wajah, kecuali bagian mata. Dan penutup tersebut terus
menutupi tubuh
e.
Hikmah Perintah Hijab
Seperti telah diketahui
bersama, bahwa Al-Quran sebagai tuntunan kehidupan manusia, sudah barang tentu
ajaran yang dikandungnya memiliki tujuan untuk mashlahah bagi manusia itu
sendiri. Tidak terkecuali ajaran menutup aurat dengan Hijab pada ayat diatas,
sedikitnya ada. . . . . . berkenaan dengan hikmah perintah menggunakan hijab.
Yakni:
1)
Manfaat Hijab (sebagai penutup aurat) yang kembali
pada pribadi seseorang, adalah dapat mendatangkan kesucian harkat dan martabat
seseorang. Khusus bagi perempuan, al-Quran menambahkan manfaat lain, yaitu
dapat menjaga kehormatan perempuan itu sendiri.
2)
Sedangkan manfaat bagi masyarakat ialah, dapat
menstabilkan sosial masyarakat serta menjaga budaya yang baik, dari budaya yang
justru menghancurkan moral[31].
C.
KESIMPULAN
Dari uraian dapat
diambil beberapa kesimpulan penting mengenai Surah an-Nur ayat 30 dan 31 ini
mengenai, Hijab/ penutup aurat, antara lain:
1.
Hijab pada dasarnya adalah penutup, penghalang.
Kemudian diderefasikan kepada makna khusus yakni penutup aurat. Dengan dasar
surah al-Ahzab ayat 59, yang mengindikasikan pembahasan Hijab sebagai alat.
2.
Sebelum pembahasan Hijab sebagai alat penutup aurat,
terdapat klasifikasi batasan aurat yang pada titik ini terjadi perbedaan
pendapat dikalangan para ulama, yang sama-sama memiliki argumentasi atas
intrepretasi ayat al-Quran.
3.
Terdapat
Munsabah ayat, antara Surah an-Nur ayat 31 dan
surah al-Ahzab ayat 59, yakni pembahasan batasan aurat didahulukan
kemudian dilanjutkan bagaimana tatacara penggunaannya. Keduanya, sama-sama
surah madaniyah, namun urutan pembahasannya didahului surah an-Nur.
4.
Secara garis besar, Hijab bukan hanya sekedar budaya
atau tradisi, namun justru sebuah dogma/ ajaran Islam yang diwajibkan. Hal ini
bukan tanpa alasan, karena menutup aurat lebih mensucikan hati dan agama.
5.
Dari sisi sosial, martabat perempuan akan semakin
mulia ketika sesuatu yang seharusnya tidak diperlihatkan kecuali pada
orang-orang yang dihalalkan.
6.
Hemat peneliti, Hijab erat kaitannya dengan pembahasan
aurat, sejauh mana seseorang menganggap batasan aurat, maka sejauh itupula
hijab wajib digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Nawawi, Muhammad bin
Umar. “Murahu Labid; Likasyfi Ma’ani al-Qurani al-Majid” Juz. II, 2003
(Beirut; Daru al-Kutub al-Alamiyah)
al-Sajastani, Abu Dawud
Sulaiman. “Sunan Abi Dawud” 1424 H.
(Riyadh: Maktabah al-Ma’arif)
al-Shabuni, Muhammad
Ali. “Rawai’u al-Bayan Tafsiru Ayati al-Ahkam Min al-Quran” 1981(Beirut;
Maktabah al-Ghazali)
al-Suyuthy, Jalaluddin.
“al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun).
al-Tirmidzi, Abu Isa
Muhammad bin Isa. “Al- Jami’u al-Kabir” Jilid. IV. 1996 (Beirut; Daru
al-Gharb al-Islami)
Katsir, Abu al-Fida’
Ismail ibnu. “Tafsiru al-Quran al-‘Adzim” Jilid.VI, 1999 ( Riyadh; Daru
al-Thayyibah Li al-Nasyr wa al-Tauzi’).
Warson, Ahmad. “Kamus
al-Munawwir” Cet. 25, 2002 (Surabaya; Pustaka Progressif)
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya,,,,,,,,,,,,,,