SEJARAH SUNDA
I.
Istilah Sunda
Penggunaan
istilah Sunda saat ini sulit dibedakan dengan istilah Jawa Barat, sering
dicampur adukan, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua
istilah tersebut mengalami perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga sering
terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika
istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuisme, sehingga terpaksa
istilah Sunda dalam perkumbuhan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan
Jawa Barat.
Istilah
Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda
besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah
digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian
barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa
Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.
Dataran-
Kepulauan Sunda
Bagi
masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih
ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan
kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.
Sunda Besar
adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa,
Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak
disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor
di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan
lain-lain (Ekadjati – 1995).
Menurut R.W.
van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai
dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian
tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang
melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.
Pendapat
diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang
mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor
dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon
berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri
kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat
ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan
jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet
ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut
terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.
Didalam
pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian
utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan
Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat
muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan
demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda
di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The
Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar
sampai ke Arakan Yoma di Birma.
Didalam
Prasasti dan Naskah Kuna
Di bidang
sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian
wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia
didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah
tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara
Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk
mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu
sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama
Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam
Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang
disebut Sundasembawa.
Data lain
yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan:
“pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di
kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari
prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi
sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;
·
ini
sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan
haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka]
458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku
kedua, hal 24).
Suryawarman
di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang
memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun
536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan
536 masehi atau abad ke enam masehi.
Sampai saat
ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa
Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti
Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan
nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru
(2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6)
Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan
(8) Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).
Kisah yang
dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah
berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna.
Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan
dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa
memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun
669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I
sarga 3 mengisahkan, bahwa :
·
“Telas
karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan
ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking
Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda
tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota)
Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].
Generasi
muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon.
Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda
yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam
tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
·
... Tanah
Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku
kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java.
Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika
pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make
ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta
ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi
Propinsi Jawa Barat’.
Wilayah
Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika
dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten
hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara
praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda
(Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh
(Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi
beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan
Sri Baduga Maharaja.
Untuk
menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama,
berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad
ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut
diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian,
Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu)
Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung
Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup
beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga
kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain
kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk
kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.
Kedua,
menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan
dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah
kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah
pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup
sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga
ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk
Kerajaan
Sunda
Di dalam buku
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang
kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan
Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat
dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda
diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.
Pembahasan
kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat
tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau
kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas
Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka
masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak
kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah
paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak
Pajajaran dan Siliwanginya ?.
Sebutan
Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan
Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang
sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa,
bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah
menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan
bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti
dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda
ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun
hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada
waktu itu.
Istilah
Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di
tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota
Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara
Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah
digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di
dataran Sunda.
Instilah Sunda
(Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat
pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M).
Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya.
Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita
Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada
umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)
Di dalam
buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), pembahasan
tentang nama Sunda dalam bentuk kerajaan terbatas sejak Maharaja Terusbawa
sampai dengan Citraganda, dari tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Namun
penerus raja-raja sunda seperti Kawali dan Pajajaran diuraikan tersendiri.
Mungkin saja
para penyusun sengaja menguraikan raja-raja sunda berdasarkan pada posisi pusat
pemerintahan dan Garis penerus Maharaja Terusbawa, karena jika dikisahkan
tentang sunda maka tak pula dapat dipisahkan dengan Kawali, Pajajaran, bahkan
Galuh.
Istilah
Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi di mulai sejak Tarusbawa
memindahkan pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura, pada tahun 669 M atau
tahun 591 Caka Sunda. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan
beralihnya tahta Linggawarman pada tahun 669 M kepada Tarusbawa, menantunya
yang menikah dengan Dewi Manasih. Tarusbawa kemudian diberi gelar Maharaja
Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa.
Berita ini
disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga
terhadap Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Linggawarman.
Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahirnya Kerajaan Sunda.
Perpindahan
lokasi atau pembangunan istana Sunda pada masa Terusbawa digambarkan di dalam
Fragmen Carita Parahyangan :
Diinyana
urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kadatwan Bima – Punta – Narayana –
Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa denung
Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah
diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura - Suradipati. Setelah
selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah.).
Berita yang
layak dijadikan bahan kajian tentang pembangunan istana yang dilakukan
Tarusbawa juga tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
”Hana
pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadtwan Sang Bima - Punta -
Narayanan - Madura - Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang
mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana –
Madura - Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa)
Istana
sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau
Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti
istana yang berjajar. Memang nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri
masing-masing dengan namanya sendiri, berurutan Bima – Punta – Narayana -
Madura-Suradipati, atau disebut juga panca persada (bangunan
keraton). Bangunan Keraton tersebut dimungkin sebagaimana yang dilaporkan oleh
Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di
Amsterdam. Isi laporan tersebut menyatakan :
“Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven
zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot
getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa
istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan – sitinggil –
kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta
dirawat oleh sejumlah besar harimau).
[RPMSJB jilid keempat hal. 34].
Laporan
diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697,
tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan Banten –
Cirebon.
Istilah
Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan pula di dalam
Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebutkan
nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negaranya. Sama
dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang
nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan
wilayahnya.
Pemindahan
Ibukota
Pemindahan
pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura tentunya memiliki alasan, bukan
karena Sundapura adalah daerah asalnya, melainkan erat kaitannya dengan masalah
pelaksanaan pemerintahannya. Terusbawa menginginkan kembalinya kejayaan
Tarumanagara sebagaimana pada masa Purnawarman. Ketika itu Purnawarman
memindahkan ibukota Tarumanagara ke Sundapura. Namun Terusbawa tidak
memperhitungkan akibat politis dari pemindahan ibukota kerajaannya ke
Sundapura.
Pada saat
itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca
meninggalnya Purnawarman sudah mulai turun pamornya di mata raja-raja daerah,
terutama pasca kekacauan yang terjadi diintern istana. Banyak raja-raja daerah
yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur
Citarum. Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya
sebagai pesaing Tarumanagara. Dengan alasan inilah Wretikandayun kemudian
menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sunda. Sejak saat itu ditatar Sunda
muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.
Perbedaan
Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, menurut para
penulis RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh masing-masing
memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. Hal yang
sama dikemukan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya : Urang Galuh adalah Urang Cai
sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb
atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penyatuan tradisi
tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan
penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan
Galuh) dengan sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kesepakatan
para penguasanya, melainkan muncul dengan sendirinya.
Pasca
ditemukannya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sunda kuna pada umumnya
bersepakat, bahwa : “Dengan demikian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 –
1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali walaupun di Pakuan tentu ada
seorang penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya
sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat sudah berakhir”. (RPMSJB, buku
ketiga, hal. 32). (*).
Tarusbawa
dikenal sebagai pendiri kerajaan Sunda pasca Tarumanagara, dengan nama nobat Maharaja
Tarusbawa Darmawaskita Manunggala jaya Sunda sembawa. Ia pengganti raja
Tarumanagara terakhir – Linggawarman yang menikah dengan Dewi Manasih, putri
Linggawarman.
Tarusbawa
sebelumnya adalah raja daerah Sundapura yang berada di bawah wilayah
Tarumanagara. Kota Sundapura pernah digunakan sebagai ibukota Tarumanagara pada
masa Purnawarman. Demikian pula alasan Terusbawa memindahkan ibukota kembali ke
Sundapura pada tahun 669 M atau tahun 591 saka Sunda, Ia memimpikan untuk
mengembalikan masa kejayaan Tarumanagara ketika ibukotanya di Sundapura, namun
tanpa disadari, pemindahan pusat kekuasaan Tarumanagara ke Sundapura berakibat
Galuh menuntut untuk memisahkan diri dari Sunda dan mendirikan kerajaan yang
Merdeka.
Pemisahan
Galuh
Ketika
peristiwa pemindahan Ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura terjadi, Galuh
berada dibawah kekuasaan Wretikandayun. Berdasarkan garis keturunan Tarumanagara
ia masih termasuk kerabat Tarumanagara, keturunan Suryawarman, raja
Tarumanagara ketujuh, yang menikahkan putrinya dengan Manikmaya, pendiri Kendan
- cikal bakal Galuh.
Pasca
pengalihan ibukota Tarumanagara ke Sundapura Wretikandayun mengirimkan surat kepada
Tarusbawa, ia menjelaskan niat Galuh untuk melepaskan diri dari Sunda. Menurut
Nusantara III/1, surat Wretikandayun tersebut menyatakan, sbb :
Sejak
sekarang, kami yang berada diwilayah sebelah timur Citarum tidak lagi tunduk di
bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi tidak lagi mengakui Tuan (Pakanira) sebagai
ratu. Tetapi hubungan persahabatan diantara kita tidak terputus, bahkan
mudah-mudahan menjadi akrab.
Karena itu
daerah-daerah sebelah barat Citarum tetap berada dibawah pemerintahan tuan
sedangkan daerah-daerah disebelah timur Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak
sekarang kami tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada tuan. Kemudian janganlah
hendaknya tentara kerajaan tuan menyerang kami, galuh pakuan, karena tindakan
itu akan percuma. Angkatan perang kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat
dari angkatan perang Tuan dan sangat lengkap persenjataanya.
Disamping
itu banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bersahabat
dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan perlengkapan angkatan
bersenjata kami. Hal ini telah Tuan maklumi. Nanti kita rukun bersahabat
sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan kehidupan rakyat
kita serta bersama-sama menjauhkan mala petaka. Semoga Yang Maha Kuasa
memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak mengenal
perikemanusiaan (karunya ning citaning samaya)”. (RpmsJB – Jilid 2, hal. 44).
Keberanian
Wretikandayun untuk melepaskan Galuh dari daulat Sunda tentu memiliki beberapa
pertimbangan yang masuk akal. Suatu hal yang tidak mungkin jika terjadi ketika
Tarumanagara masih dipimpin Purnawarman.
Pada masa
pengalihan tahta Linggawarman kepada Tarusbawa memang posisi dan kondisi
Tarumanagara sedang berada dititik paling rendah, terutama pasca Tarumanagara
memberikan kelonggaran kepada raja-raja daerah untuk mengelola kerajaannya
sendiri. Selain itu, pernah terjadi pemberontakan Cakrawarman yang menguras
sumber daya Tarumanagara.
Kekuatan
yang dimiliki Galuh juga disebabkan Wretikandayun telah membina hubungan baik
dengan kerajaan Kalingga, bahkan terjadi pernikahan antara Dewi Parwati, putri
Kertikeyasinga dan Ratu Sima dengan Mandiminyak, putra mahkota Galuh. Masalah
ini yang memicu keberanian Wretikandayun untuk memerdekakan Galuh.
Disisi lain,
Terusbawa dikenal sebagai raja yang senang menyelesaikan persoalannya melalui
jalan diplomatik. Ia pun dikenal sebagai raja yang mencintai perdamaian.
Ancaman yang dikaitkan dengan besarnya angkatan perang Galuh disebut-sebut
tidak menjadi pertimbangan penting bagi Tarusbawa, karena kekuatan pasukan
Tarumanagara ketika itu masih dianggap kuat diantara negara-negara lain,
sehingga pada tahun 670 M Galuh resmi terpisah dari Sunda. Peristiwa ini
merubah peta kekuasaan bekas Tarumanagara menjadi dua wilayah, yakni Sunda dan
Galuh (Parahyangan).
Hubungan
Galuh – Kalingga terbina sejak lama. Didalam RPMSJB disebutkan :”Keeratan tersebut mungkin telah ikut
mengabadikan batas kekuasaan diantara kedua keluarga dengan nama Cipamali
(Sungai Pamali). Dalam catatan Bujangga Manik (antara 1473 – 1478 M) masih
disebut Tungtung (Ujung) Sunda.
Batas ujung
timur Galuh belum terlalu berubah sejak masa kekuasaan Purnawarman, meliputi
Purwalingga atau sekarang Purbalingga. Mungkin batas itu Kali Klawing salah
satu cabang Kali Serayu. Sampai abad 15 M daerah Purwokerto masih termasuk
kawasan Galuh seperti terbukti dari dua orang Putra Dewa Niskala yaitu
Banyakcatra (Kamandaka) dan Banyakngampar yang masing-masing menjadi raja
Daerah Pasir Luhur dan Dayeuh Luhur”. (***)
4.
Mitra Pasamayam
Linggawarman,
raja Tarumanagara terakhir mempunyai 2 orang putra, yakni Manasih dan
Sobakancana. Manasih dinikahkan dengan Terusbawa, penerus Tarumanagara yang
kemudian menjadi nama Sunda, sedangkan Sobakancana di nikahkan dengan Sri
Jayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya. Hal ini menumbuhkan hubungan kekerabatan
diantara raja Sunda dan Sriwijaya.
Pada tahun
500 M, pulau Sumatera dikuasai oleh dua kerajaan yang kuat, yakni Pali (sebelah
utara) dan Melayu Sribuja (sebelah timur), beribu kota di Palembang. Sedangkan
Sriwijaya saat itu terletak di Jambi dan baru berbentuk kerajaan kecil dibawah
Kerajaan Melayu.
Dibawah
daulat Sri Jayanasa, kerajaan Sriwijaya makin berkembang, bahkan dalam waktu
lima tahun dapat menaklukan sebagian wilayah Melayu. Pada tahun 676 Sriwijaya
berhasil menaklukan Pali dan Mahasin (sekarang Singapura). Kemudian menaklukan
Semenanjung dan Ligor. Ia pun memusatkan pasukannya di Minangkabau. Pada tahun
683 M Sriwijaya berhasil menaklukan Melayu.
Ekspansi
Sriwijaya ke ke Melayu tentunya sangat mengganggu hubungannya dengan Kalingga
(Jawa Tengah). Karena penguasa Melayu masih memiliki kekerabatan dengan
Kalingga, bahkan dianggap menggangu perasaan Maharani Sima, ratu Kalingga.
Sri Jayanasa
mencoba mencairkan kebekuan hubungan ini dengan cara mengambil langkah-langkah
di plomatik. Sri Jayanasa berupaya merajut benang silaturakhmi dengan Sunda dan
Kalingga.
Sri Jayanasa
dengan Terusbawa masih sesama menantu Linggawarman, raja Tarumana terakhir.
Mereka menikah dengan putri-putri Linggawarman. Jalinan persaudaraan Sunda -
Sriwijaya didudukan dalam suatu bentuk prasasti antara kedua negara, kemudian
dikenal dengan istilah Mitra Pasamayan.
Mitra
Pasamayan disetujui oleh kedua belah pihak pada tanggal 14 bagian terang bulan
Maga tahun 607 Saka (sekitar 22 Januari 685 masehi), intinya untuk tidak saling
menyerang, serta harus saling membantu. Menurut Pustaka Nusantara II/3,
Maharaja Terusbawa mengabadikan perjanjian ini dalam sebuah prasasti yang
ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Melayu dan Sunda (Ibid. Jilid 3. hal 4).
Sri Jayanasa
selanjutnya menawarkan persahabatan dengan Kalingga. Namun Dewi Sima menolak
permintaan itu, karena sakit hati atas penaklukan kerajaan Malayu oleh
Sriwijaya. Menurut rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, ada
Mahakawi yang mengisahkan, permusuhan antara Sriwijaya dengan Kalingga akibat
dari penolakan pinangan Sri Jayanasa yang dilakukan oleh Maharani Sima.
Permusuhan
makin menajam dan berujung pada persiapan Sriwijaya untuk menyerang Kalingga,
bahkan telah mempersiapkan armada yang cukup besar. Demikian pula dari
Kalingga, telah mempersiapkan diri dan dibantu oleh Cina dan negara-negara
sahabat untuk menyerang balik Sriwijaya.
Ketegangan
hubungan Sriwijaya – Kalingga dapat dilerai oleh Terusbawa. Ia bertindak
sebagai sahabat dan kerabat. Terusbawa mengirimkan surat kepada Sri Jayanasa,
yang isinya mengingatkan, bahwa :”Sunda tidak akan membantu penyerangan
Sriwijaya ke Kalingga, mengingat dapat diangap kasus susila”. Terusbawa
khawatir jika masalah ini dituduhkan oleh negara-negara lain, karena pinangan
Sri Jayanasa di tolak oleh Maharani Sima.
Himbauan
Terusbawa diterima Sri Jayanasa. Ia pun mengurungkan niatnya. Kapal-kapal
Kalingga yang di tahan Sriwijaya kemudian diperbolehkan kembali. Tentunya
setelah muatannya dirampas.
Dalam
perkembangan selanjutnya, masih ada kapal-kapal Kalingga yang diganggu bajak
laut. Disinyalir bajak laut tersebut direstui Sri Jayanasa.
Peran
Sanjaya
Pasca
meninggalnya Sri Jayanasa ketegangan Sri Wijaya dan Sunda menghangat kembali.
Sri Wijaya menganggap bahwa ia masih keturunan Tarumanagara yang masih memiliki
hak atas wilayah Tarumanagara, bahkan wilayah Selat Sunda – dan pelabuhan
pelabuhan di Jawa Barat mulai diganggu para perompak yang direstui Sriwijaya.
Adanya gangguan perompak menyebabkan Terusbawa memindahkan ibu kotanya ke
pedalaman. Dalam proses selanjutnya Terusbawa memerintahkan Sanjaya, untuk
menumpas bajak laut tersebut.
Menurut
RPMSJB (1983-1984) : Terusbawa memerintahkan Sanjaya untuk membersihkan
perompak diperairan Selat Sunda bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak
dikemudian hari mampu menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda. Pada masa
lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Pada masa
Dewawarman V, ia harus gugur diperairan ketika melakukan pemberantasan bajak
laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama ketika ia memerintah
Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya.
Terusbawa
memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki
sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam
memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi
bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan
ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar kenagara-negara
lain yang melindungi para bajak laut.
Sanjaya
adalah putra Mahkota Galuh, dari garis Bratasenawa (Sena) putra Mandiminyak. Ia
menjadi penguasa Galuh pada tahun 723 M (645 s/d 647 Saka). Sanjaya juga
sebagai pengganti Terusbawa karena perkawinannya dengan Tejakencana. Pada tahun
723 M Sanjaya bersama Tejakencana, istrinya di nobatkan sebagai raja Sunda,
terhitung 647 s/d 654 Saka.
Sanjaya
adalah Cucu Maharani Sima, ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa dengan
Sanna, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis perkawinan Bratasenawa dan
Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.
Disamping
itu, atas persetujuan Parwati (ibunya), Sanjaya dijodohkan dengan Sudiwara,
putri Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini
mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani
Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar
jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.
Pada tahun
728 M Sanjaya mengarahkan laskar gabungan dari ketiga negara tersebut untuk
membersihkan perompak diperairan Selat Sunda, bahkan mengejar para bajak laut
sampai kesarang-sarangnya yang dilindungi negara lain. Iapun berhasil
mengalahkan pasukan Indrawarman, penguasa Sriwijaya pada waktu itu. Sriwijaya bangkit
kembali dan memperoleh kejayaannya ketika dipimpin oleh Wisnuwarman (730 – 775
M), putra Indrawarman.
Sunda pasca
Sanjaya
Dalam kisah
selanjutnya Sunda harus mampu menyesuaikan dari kondisi pertentangan Sriwijaya
dengan wilayah kerajaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada umumnya
penguasa-penguasa Sunda lebih memilih menjadi penengah atau bersikap netral.
Hal ini bukan hanya ada kekerabatan diantara penguasa kerajaan lainnya,
melainkan Sunda tidak memiliki armada laut yang kuat, sebagaimana yang dimiliki
Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.
Hubungan
antara Sriwijaya dengan kerajaann-kerajaan di Jawa timur terjadi pada masa
selanjutnya mengalami ketegangan, seperti pada masa kerajaan Mamenang, Kadiri,
Singasari ataupun Majapahit. Pada umumnya berselisih tentang kekuasanya
diperairan Nusantara. Apalagi pasca bangkitnya kerajaan Melayu yang selalu
dilindungi raja-raja dari Jawa Timur ketika mendapat tekanan Sriwijaya. Yang
terakhir ketika Sunda pada masa Prabu Darmasiksa, ia bertindak sebagai tuan
rumah dalam penyelesaian perundingan Sriwijaya dengan Kediri yang diprakarasi
Cina.
5.
Kekuasaan Sanjaya
Sanjaya
menggantikan posisi Terusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M (645 Saka),
bergelar Maharaja Bimaparakarma Prabu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya.
Mungkin Sanjaya adalah satu-satunya raja Sunda yang memiliki kekuasan melebihi
Purnawarman. Sanjaya sangat pantas jika ia disebutkan sebagai penguasa Pulau
Jawa pada masa abad ke 8 M.
Posisi dan
kekuasaan Sanjaya di Pulau Jawa didapatkan dari trahnya sebagai keturunan dan
perkawinan. Pertama, sebagai raja Sunda ia dapatkan setelah menikah dengan Teja
Kencana, Cucu Tarusbawa, putra mahkota Sunda. Teja Kencana kemudian diangkat
sebagai penguasa Sunda bersama-sama dengan Sanjaya pada tahun 723 M.
Kedua,
Sanjaya pewaris syah tahta Galuh, dapatkan dari ayahnya, yakni Sena
(Bratasenawa) putra Mandiminyak (Amara), dan cucu Wretikandayun. Kedudukan di
Galuh Ia dapatkan pada tahun yang sama ketika menjadi raja Sunda.
Tentang masa
berkuasanya Sanjaya di Sunda dan Galuh disebutkan dalam seri Pararatwan
Jawadwipa, yakni di Sunda sejak 645
– 647 Saka, sedangkan menjadi penguasa Sunda dan Galuh sejak 647 – 654 Saka.
Ketiga,
Sanjaya adalah cicit Maharani Sima, ratu Kalingga dari pernikahan Bratasenawa,
ayahnya dengan Sanna, ibunya, cucu Maharani Sima. Jika dilihat dari garis
perkawinan Bratasenawa dan Sanna ia adalah putra Mahkota Mataram.
Keempat,
atas persetujuan Parwati (neneknya), Sanjaya berjodoh dengan Sudiwara, putri
Dewa Singa dan cucu Prabu Narayana, penguasa Bumi Sambara. Perkawinan ini
mengikat kekerabatan yang makin erat, karena mereka sesama keturunan Maharani
Sima. Jadi posisi Sanjaya pada masa itu sudah menguasai ¾ pulau jawa. Wajar
jika Sanjaya menjandang gelar Penguasa Pulau Jawa.
Hubungan dengan Kalingga
Didalam
thesis Prakondisi Terbentuknya Identitas Kebangsaan, oleh Drs. Nana Supriatna,
M.Ed, dikemukakan : Eksistensi Sanjaya di jawa barat diperoleh dari prasasti
Canggal (732 M). Prasasti tersebut menerangkan mengenai seorang raja bernama Sanjaya
yang mendirikan tempat pemujaan untuk dewa Siwa di daerah Wukir. Dia adalah
anak Sanaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya adalah pendiri
wangsa Sanjaya yang berkuasa atas kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah bagian
utara.
Apabila isi
prasasti tersebut dihubungkan dengan Carita Parahyangan yang menerangkan
mengenai berkuasanya Sanna di Galuh (Ciamis), Sanjaya adalah raja Galuh
yang mengganti kan Sanna setelah dia berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora yang
memberontak terhadap raja Sanna.
Dalam Carita
Parahyangan disebutkan bahwa Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, yakni Manunggul, Kahuripan,
Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan yang
diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat
itu menjadi bagian dari Galuh.
Pada masa
Terusbawa di Sunda, hubungan Sunda dengan Kalingga belum sedemikian erat,
bahkan Wretikandayun memanfaatkan hubungan Galuh dengan Kalingga sebagai faktor
penting untuk memerdekakan Galuh sebagai negara yang merdeka. Hubungan Galuh –
Kalingga dipererat dengan pernikahan Parwati, putri Maharani Sima dengan
Mandiminyak (Amara), putra Wretikandayun. Pada masa selanjutnya, hubungan Sena,
putra Mandiminyak diikat pula dengan tali pernikahan. Kemudian diperkuat pula
dengan pernikahan Sanjaya dengan Tejakencana.
Dalam cerita
tentang Galuh, Sena adalah pewaris syah atas tahta Galuh. Tahta tersebut ia
dapatkan dari Mandiminyak, ayahnya. Sena dikenal sebagai orang yang memiliki
budi baik, namun dikarenakan kelahiran Sena hasil smarakarya antara Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu (istri
Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak), maka ia kurang diterima dilingkungan
keluarga Galuh.
Masalah
smarakarya tersebut disinyalir pula sebagai pemicu Pisuna Galuh yang dipimpin
Purbasora. Akhirnya pada tahun 716 M Purbasora merebut tahta Galuh. Hanya saja
Sena berhasil melarikan diri ke Mataram.
Peristiwa
ini disebut-sebut sangat menyakitkan keluarga Kalingga Utara. Ratu Parwati menghibur
menantunya tersebut dengan cara menyerahkan tahtanya kepada Sanaha, putrinya
dan Sena, menantunya. Kemudian Sanaha dan Sena berkuasa selama 16 di Mataram,
terhitung sejak 716 – 732 M.
Pada masa
terusirnya Sena dari Galuh, usia Sanjaya masih berumur 33 tahun. Pada masa
tersebut ia lebih memiliki kesempatan untuk menjadi penguasa dibeberapa
kerajaan, seperti Sunda, Galuh, Mataram dan Kalingga. Sebagai upaya merebut
tahta Galuh dari Purbasora, ia pergi ke Denuh menemui Resiguru Wanayasa dan
iapun menyiapkan diri di Denuh. Dari Denuh kemudian ia menuju Pakuan untuk
menemui Terusbawa, kakek mertuanya. Iapun disarankan untuk lebih berhati-hati,
karena pada masa itu Galuh memilki pasukan bayangkara yang berasal dari
Indraprahasta, yang dikenal cukup tangguh dan teruji.
RPMSJB
menjelaskan, sebagai ujian bagi Sanjaya, kemudian Terusbawa memerintahkan
Sanjaya untuk membersihkan perompak diperairan Selat Sunda. Hal ini bukan hanya
sekedar membebaskan Sunda dari gangguan bajak laut yang direstui Sriwijaya,
melainkan pula bertujuan untuk melatih Sanjaya agar kelak dikemudian hari mampu
menggantikan posisinya sebagai penguasa Sunda.
Pada masa
lampau peranan bajak laut merupakan musuh yang sulit diberantas. Dewawarman V
(252 – 276 m) penguasa Salakanagara kelima harus gugur diperairan ketika
melakukan pemberantasan bajak laut. Purnawarman mengalami gangguan yang sama
ketika ia memerintah Tarumanagara, namun ia berhasil menumpasnya. Sama halnya
dengan Cheng Ho ketika ia harus membersihkan Palembang dari kekuasaan bajak
laut pada tahun 1407 M.
Terusbawa
memilih bajak laut sebagai sarana latihan Sanjaya, karena bajak laut memiliki
sifat yang sangat bengis, mahir berkelahi dan tak pandang bulu dalam
memperlakukan musuh-musuhnya. Harapan Terusbawa, jika Sanjaya mampu mengatasi
bajak laut maka ia akan mampu membawa ketentraman bagi negara Sunda. Dan
ternyata Sanjaya mampu menunaikan tugas ini, bahkan ia mampu mengejar
kenagara-negara lain yang melindungi para bajak laut.
Memang ada
peranan lainnya yang dilakukan Terusbawa dalam melatih Sanjaya, seperti
merekomendasikan ke Gunung Sawal untuk meminjam buku Pustaka Ratuning Bala
Sariwu. Buku tersebut digunakan Sanjaya pada saat memberantas bajak laut,
serta digunakan sebagai acuan strategi dalam mengembalikan tahta Galuh dari kekuasaan
Purbasora.
Tentang
Pustaka Ratuning Bala Sariwu, konon kabar pernah digunakan oleh Purnawarman,
raja Tarumanagara ketiga yang termasyhur. Selain itu digunakan pula oleh
Surawisesa dalam mempertahan Pakuan dari serangan gabungan Demak Cirebon.
Mungkin yang dimaksud buku Pustaka tersebut semacam pelajaran ilmu perang
peninggalan Purnawarman, namun dalam kisah lainnya buku ini disebut-sebut
peninggalan Resi Guru Manikmaya (Kendan).
Sanjaya
menggantikan posisi Terusbawa, raja Sunda, pada tahun 723 M. Pada tahun yang
sama Sanjaya berhasil merebut kembali tahta Galuh dari Purbasora. Dan membumi
hanguskan kerajaan Indrapahasta, pendukung penting Purbasora, karena salah satu
putri Indraprahasta adalah istri Purbasora.
Diplomasi
Sanjaya
Sebagaimana
cerita sebelumya, Sena adalah pewaris tahta Galuh yang diusir oleh Purbasora.
Putra Sena, yaitu Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri telah menjadi cucu
menantu Terusbawa raja Sunda. Ketika perebutan terjadi Sanjaya sedang berada di
Mataram. Dengan kedatangan Sena dan terusirnya dari Galuh, sangat membangkitkan
amarah Sanjaya, sehingga ia pun berupaya untuk menuntut balas.
Sena dikenal
memiliki budi pekerti yang baik dan dianggap alim, sehingga tidak merespon
peristiwa pengusirannya dengan melakukan balas dendam. Untuk mendukung
keinginan Sanajaya, Sena menganjurkan Sanjaya agar berhati-hati dan tetap
menghormati orang-orang tua di Galuh (Sempakwaja dan Jantaka). Sanjaya hanya
diijinkan menyingkirkan Purbasora. Amanah tersebut diikuti oleh Sanjaya, ia
perlahan-lahan melakukan infiltrasi dan membentuk pasukan khusus yang akan
merebut Galuh kembali.
Sanjaya
secara diplomatis menghubungi Jantaka, atau Resiguru Wanayasa. Ia meminta
Jantaka secara baik-baik untuk menjadi manggala, mengadili dan menentukan pihak
mana yang benar dan salah. Jantaka menyadari akan masalah ini, namun permintaan
ini menjadikan posisi Jantaka serba sulit, karena dipihak Purbasora telah
berdiri Bimaraksa, anaknya. Iapun kemudian menolak tawaran tersebut, ia
berjanji akan bersikap netral dan meminta jaminan dari Sanjaya, bahwa
keluarganya tidak akan pernah diganggu dalam masalah ini.
Masalah ini
diceritakan dalam Carita Parahyangan :
Carek
Rahiangtang Kidul: "Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, - bisi sia
kanyahoan ku ti Galuh. - Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang
Pandawa di Kuningan, - sarta anak saha sia teh?".
Carek Rakian
Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut – kakawasaanana, dibuang ku Rahiang
Purbasora."
"Lamun
kitu aing wajib nulungan. - Ngan ulah henteu digugu jangji aing. - Muga-muga
ulah meunang, - lamun sia ngalawan perang ka aing. - Jeung deui leuwih hade sia
indit ka tebeh Kulon, - jugjug Tohaan di Sunda."
Sadatangna
ka Tohaan di Sunda, - tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda.
Dalam Carita
Parahyangan, peristiwa tersebut terjadi sebelum Sanjaya menjadi suami
Tejakencana, bahkan jauh sebelum ia mendudukui tahta Sunda. Kemudian dukungan
selanjutnya ia mintakan kepada raja Sunda, Terusbawa. Tentu Terusbawa tidak
bisa dengan mudah memberikan dukungan secara riil, mengingat ia telah terikat
hubungan persahabatan dengan Purbasora. Ia menyarankan agar Sanjaya bersikap
hati-hati.
Terusbawa
memberikan rekomendasi pula agar Sanjaya meminjam Pustaka Ratuning Bala Sarewu
kepada Rabuyut Sawal. Pustaka itu hasil ciptaan Resiguru Kendan, tentang
bagaimana menggunakan pasukan yang banyak.
Kisah
perjalanan ini diabadikan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sadatangna
ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. - Ti dinya
ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek
Rabuyut sawal: "Sia teh saha?" - "Aing anak Sang Sena. Aing
nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. - Eusina teh, 'retuning bala sarewu',
anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru."
Eta pustaka
teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka
Galuh. - Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina
ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.
Pada episode
berikutnya memang sulit membuktikan dukungan Terusbawa secara formal, hingga ia
meninggal pada tahun 723 M. Sebagai pengganti Raja Sunda maka pada tahun 723 M
dilantiklah Sanjaya berserta Tejakencana, istrinya. Kemudian Sanjaya mengangkat
Anggada, adik sepupu Tejakencana sebagai patih.
6.
Tahta Galuh
Ketika
suasana masih berkabung Sanjaya mengirimkan pasukan Sunda untuk bergabung di
Gunung sawal, berjarak + 17 km dengan Galuh. Gerakan tersebut sama
sekali tidak diketahui Purbasora. Hingga pada suatu hari, ditengah malam buta
tibalah saatnya Sanjaya melakukan penyerangan. Ketika penyerangan di lakukan,
Galuh sedang dalam keadaan terlelap, serangan itu pun tidak terdeteksi
sebelumnya.
Kisah
pengakhiran kekuasaan Purbasora, menurut buku Nusantara diceritakan, bahwa
dimalam yang gelap gulita itu Sanjaya langsung berhadapan dengan Raja Galuh
yang telah berumur 80 tahun itu, kemudian terdengar teriakan :
·
“Purbacura pinejahan dening Sanjaya
yuddhakala” (Purbasora dibinasakan oleh Sanjaya waktu perang).
Kekalahan
Purbasora di dalam perang tanding dengan Sanjaya tentunya bukan sesuatu yang
aneh, mengingat usia Purbasora saat itu sudah berumur 80 tahun, jauh lebih tua
dibandingkan Sanjaya. Dalam cerita ini memang ada yang perlu diteliti lebih
jauh, karena Bimaraksa, senapati yang sekaligus patih dari Galuh, bersama
sebagian kecil pasukannya berhasil meloloskan diri. Kisah lolosnya Bimaraksa
dimungkinkan sesuai dengan maksud dari versi lain, tentang syarat yang
diberikan Jantaka (ayah Bimaraksa) kepada Sanjaya untuk tidak mengganggu
keluarganya. Hal ini ditaati oleh Sanjaya.
Dalam cerita
ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demunawan diminta Sanjaya untuk
memegang pemerintahan Galuh namun berada dibawah kontrol Sanjaya, untuk
selanjutnya dikuasakan kepada Permana Dikusumah, atau dalam cerita Parahyangan
dikenal dengan sebutan Bagawan Sijala-jala. Sedangkan Bimaraksa menetap di
Geger Sunten dan menyusun kekuatan baru. Iapun lebih dikenal dengan sebutan
Balangantrang, dalam sejarah lisan disebut aki Balangantrang, penyampai benang
merah kisah Galuh kepada Ciung Wanara.
Penghancuran Indraprahasta
Sanjaya
sangat mengetahui tulang punggung pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena
pada tahun 716 M terdiri dari pasukan Indraprahasta dibawah Senapati Wiratara,
salah satu senapati Purbasora, kemudian menjadi raja Indraprahasta. Untuk
alasan ini Sanjaya berniat membumi hanguskan Indraprahasta. Memang seolah-olah
ada semacam pelampiasan untuk menyalurkan dendamnya kepada Indraprahasta,
sedangkan terhadap keluarga Galuh lainnya, ia harus menepati janjinya kepada
Demunawan dan ayahnya untuk memperlakukan dengan baik.
Didalam
naskah Wangsakerta digambarkan persitiwa pembumi hangusan, tanpa ada belas
kasihan, mereka menyebutnya seperti binatang buas. Sejak saat itu maka
musnahlah Indrapahasta yang didirikan Sentanu pada tahun 363 M. Semula
Indrapahasta sejak jaman Tarumanagara dianggap daerahnya sebagai wilayah yang
disucikan, termasuk oleh Purnawarman, bahkan ada sebuah sungai yang dinamakan
sungai Gangga.
Naskah
tersebut sebagai berikut :
Ikang rajya Indraprahasta wus sirna
dening Rahyang Sanjaya mapan kasoran yuddha nira.
Rajya Indraprahsta kabehan nira
kaparajaya sapinasuk kadatwannya syuhdarawa pinaka tan hana rajya manih I
mandala Carbon Ghirang.
Wadyabala, sang pameget,
nanawidhakara janapada, manguri, sang pinakadi, meh sakweh ira pejah
nirawaceca.
Kawalya pirang siki lumayu humot
ring wana, giri, iwah, luputa sakeng satwikang tan hana karunya budhi pinaka
satwakura.
Pasca
Purbasora
Sanjaya
pasca kemenangannya mengirimkan untusan untuk menghadap Sempakwaja di
Galunggung. Ketika itu Sempakwaja telah berumur 103 tahun. Sanjaya berniat
menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Hal ini
ditolak oleh Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora karena takut kelak Demunawan
akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Iapun tidak ikhlas putranya berada dibawah
perintah Sanjaya, karena ia tahu bagaimana Wretikandayun, ayahnya dahulu
membebaskan Galuh di Sunda.
Sebagai resi
yang bergelar Danghyang Guru di Galunggung yang bijak ia menawarkan pilihan kepada
Sanjaya, Ia akan menganggap pantas memerintah Galuh jika Sanjaya mampu
mengalahkan tiga tokoh Pandawa, Wulan dan Tumanggul. Ketiganya masing-masing
raja didaerah Kuningan, raja Kajaron dan raja Kalanggara di Balamoha.
Kekuasaan
yang dipegang Sanjaya dan Sena dianggap tidak ada apa-apanya jika Sanjaya belum
mampu menaklukan raja di Jawa Tengah dan sekitar Galuh. Jika Sanjaya mampu
menguasai mereka maka Resiguru Demunawan, putra Sempakwaja, masih ua Sanjaya,
pantas mempertuan Sanjaya. Namun jika Sanjaya tidak mampu menundukan mereka
maka Sempakwajalah yang akan menentukan penguasa Galuh.
Masalah ini
dikisahkan didalam Cerita Parahyangan, sebagai berikut :
Carek Rahiang Sanjaya: "Patih,
indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha kituh anu pantes pantes
pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna."
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun naon, patih?"
"Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang purbasora."
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun naon, patih?"
"Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi Rahiang purbasora."
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan. Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian, nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka
Kuningan.
Sanjaya tidak mampu mengalahkannya, bahkan sebaliknya
Sanjaya dipukul mundur dan dikejar hingga ke Galuh. Peristiwa ini diberitakan
didalam Carita Parahyangan.
Eleh Rahiang Sanjaya diubeur, nepi
ka walungan Kuningan.
Rahiang Sanjaya undur.
"Teu meunang hanteu aing kudu
ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran."
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui
ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka
Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, naon
pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?"
"Nya eta aya pibejaeun, apan
kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna, anggur kami diuber-uber
ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan."
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.
Karena
dikalahkan akhirnya Sanjaya menyerahkan penunjukan penguasa Galuh tersebut
kepada Danghyang Guru, Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka
pemerintahan Galuh diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora.
Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih
untuk mengawasi pemerintahan Premana. Cucu Purbasora dari Wijayakusuma. Masalah
tidak cukup berhenti sampai disini, karena intrik-intrik politik terus berlanjut.
Sempakwaja
menunjuk Demunawan sebagai raja Layuwatang. Kemudian pada tahun 723 Demunawan
dinobatkan sebagai penguasa kerajaan Saung Galah di Kuningan. Wilayah
Galunggung dan kerajaan kecilnya dijadikan wilayah dibawah Saung Galah untuk
menandingi Galuh yang dikuasai Sanjaya, namun resminya dipegang Premana
Dikusumah.
Karena
merasa tertekan, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama
Pangrenyep, seorang putri pembesar Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga
melahirkan Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh
Premana dipertapaannya. Maka berakhirlah kekuasaan Premana.
Carita
Parahyangan dianggap terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang
diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan
berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan
Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga
Kerajaan Medang.
Sanjaya di
Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia
karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru
agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban
diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu
menakutkan. “Rahiang Sanjaya sasauran,
ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang Tamperan: "Ulah arek
nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea."
Dari
perkataan tersebut mungkin menarik untuk dibahas adanya perubahan agama keraton
di Sunda, namun masalah ini masih kabur dan belum terungkap secara jelas.
Sanjaya
bertahta di Galuh sejak 723 sampai 732 M. Ia wafat pada tahun 754 M di Bumi
Mataram (***)
7.
Perjanjian Galuh
Sanjaya
sebelum memenuhi panggilan Sena, ayahnya untuk menjadi raja di Medang, berinisiatif
untuk melakukan musyawarah di Purasaba Galuh, dihadiri oleh anggota kerabat
kerajaan. Pada saat itu ia dianggap paling berkuasa di Pulau Jawa, sebab
Kalingga sudah setengah menjadi bawahannya, sedangkan Demunawan yang
memerdekakan dirinya di jamin oleh Sanjaya. Semua ia lakukan untuk menunjukan
rasa hormatnya kepada Sena, ayahnya.
Menurut para
penulis RPMSJB musyawarah di Galuh terjadi pada tahun 731 M, dan menetapkan :
(1) daerah
sebelah barat Citarum sampai keujung kulon menjadi hak waris keturunan
Tarusbawa ;
(2) daerah
sebelah timur Citarum termasuk Jawa Pawatan dibagi dua antara Tamperan yang
menguasai bagian selatan dan Demunawan yang menguasai bagian utara, termasuk
bekas Galunggung dan Saung Galah ;
(3) bagian
tengah akan tetap diperintah oleh Sanjaya dan menjadi hak waris keturunan Galuh
– Kalingga ;
(4) daerah
sebelah timur bagian utara Kali Progo menjadi bagian Prabu Narayana dan
keturunan dari keluarga Kalingga. (Jilid 2, Bag. 4 hal. 72).
Semula Galuh
diserahkan kepada Premana, namun Premana lebih memilih untuk menjadi pertapa
sehingga pada akhirnya dijalankan oleh Tamperan, demikian pula Sunda. Sanjaya
sejak 732 M di kerajaan Sunda digantikan oleh Tamperan. Kemudian Premana
diceritakan terbunuh di pertapannya.
Riwayat
kekuasaan Tamperan di Galuh terganggu oleh masalah Dewi Pangrenyep. Masalah ini
menjadi masa kelam bagi hubungan Sunda – Galuh dan keturunan selanjutnya,
memicu pula kemarahan Sanjaya untuk kembali menguasai Galuh. (Selanjutnya dalam
uraian tentang Galuh).
Membahas
raja-raja Sunda tentunya agak sulit dilepaskan dari cerita Galuh. Hal ini bukan
hanya awalnya berasal dari Tarumanagara, namun akibat hubungan perkawinan dan
pewaris dari kerajaan kembar tersebut maka banyak raja Sunda yang sekaligus
bertahta sebagai raja Galuh.
Perbedaan
Sunda dengan Galuh disebut-sebut berakhir pada masa Rakean Wuwus. Hal ini
akibat dari pencampuran perkawinan antara keturunan Banga dan Manarah. Sunda
dengan Galuh benar-benar dianggap bersatu kembali pada abad 13 masehi, bahkan
pada abad ke – 14 sebutan untuk Sunda dengan Galuh menjadi tunggal, yakni
Sunda.
Kisah
Tamperan, pengganti Sanjaya di Sunda dikisahkan pula dalam alur cerita Galuh.
Tamperan disebutkan sebagai pemegang tahta Kerajaan Sunda ketiga. Ia putra
Sanjaya dari Tejakencana, cucu dari Tarusbawa.
Tamperan
menggantikan ayahnya karena Sanjaya dipanggil Sena, untuk menggantikan
kedudukannya sebagai raja Medang di Bumi Mataram. Tamperan disebut-sebut
memerintah Sunda sejak tahun 732 M – 739 M, namun ada yang berbendapat bahwa
sebenarnya Tamperan tidak pernah menjadi Raja Sunda, karena raja Sunda masih
tetap Sanjaya. Tamperan hanya memegang jabatan Duta Patih Sunda di Galuh,
berdomisili di Purasaba Galuh.
Tamperan
didalam Carita Parahyangan dan berita Nusantara III dianggap memiliki tabiat yang
kurang baik. Diberitakan mengganggu Dewi Pangrenyep, istri Permana
Dikusumah, hingga melahirkan Banga. Ia pun disebut-sebut membunuh Permana
Dikusumah. Dari akumulasi perbuatannya ia dibunuh Sang Manarah, anak Permana
Dikusumah.
Kisah
perilaku dan masa kepemimpinan Tamperan diceritakan didalam Carita Parahyangan,
sebagai berikut :
- Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
- Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga.
- Sang manarah males pati.
- Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
- Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna Rahiang Banga ku Sang Manarah.
- Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
- Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Dari carita
Parahyangan memang ada perbedaan status Manarah dengan alur yang dikisahkan
versi RPMSJB. Manarah disebutkan putra dari Permana Dikusumah, sedangkan Banga
memang anak Tamperan.
Tamperan
wafat pada tahun 739 M. Posisinya di Galuh digantikan Manarah, sedangkan Banga,
anak Tamperan menggantikan posisinya di Sunda, ketika itu Sunda sudah berada
dibawah kontrol Manarah dari Galuh. Hal ini sejalan dengan maksud dari buku
sejarah Jawa Barat, kerajaan Sunda pernah berada dibawah kontrol Galuh
terhitung sejak adanya perjanjian Galuh, yakni tahun 739 M sampai dengan 759 M.
Perjanjian Galuh
Perjanjian
Galuh merupakan upaya dari para keturunan Wretikandayun, pendiri Galuh untuk
menyudahi perseteruan. Ketika itu pasukan Manarah dengan pasukan Sanjaya sudah
saling berhadapan untuk saling berperang. Masalah ini dipicu oleh terbunuhnya
Tamperan di Galuh oleh Manarah. Namun berkat peran Resi Demunawan mereka mau
berunding di Kraton Galuh.
Didalam
Nusantara III/1, dijelaskan, bahwa isi dari perjanjian Galuh tersebut, sebagai
berikut :
- Menyudahi permusuhan (mawusana panyatrawanan) diantara yang sedang berperang
- Mengadakan perjanjian persahabatan (mitrasamaya), beker jasama (atuntunan tangan) dan saling membantu (parasparo pakara) diantara mereka
- Tidak boleh mengadakan pembalasan (paribhaksa) terhadap sesamanya karena mereka itu masih satu keturunan (tunggal kawitan)
- Semua prajurit yang tertawan harus dibebaskan
- Bila timbul perselisihan di antara mereka harus diselesaikan diantara mereka harus diselesaikan (telas aken) dengan damai (apakenak) dan bermusyawarah (mapulungrahi) dengan semangat persaudaraan (kaharep paduluran)
- Hubungan kekerabatan tidak boleh putus dan harus saling mengasihi
- Tidak boleh saling menyerang dan merebut kota-kota (para pura) masing-masing
Menghormati
hak ahli waris yang sah (maryada sakeng si tutu), yaitu :
(1) Negeri Sunda
dengan wilayah dari Citarum kebarat dirajai oleh sang Kamarasa alias Banga
dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya ;
(2) Negeri Galuh
dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Sang Suratoma alias Manarah
dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabuan ;
(3) Resi Guru
Demunawan menguasai negeri Saung Galah dan bekas kawasan Kerajaan Galunggung ;
(4) Sanjaya
memerintah di Jawa Tengah.
(RPMSJB,
Jilid Kedua, hal. 79)
Untuk
mengukuhkan persaudaraan diatas kemudian Resi Demunawan menjodohkan cucunya
yakni Kencana Wangi dengan Manarah, sedangkan Kencana Sari dinikahkan dengan
Banga. Dari pernikahan ini maka berbaurlah darah Sunda, Galuh dan Saunggalah.
Dengan demikian maka dikemudian hari keturunan Wretikandayun bersatu kembali.
Kelak perbedaan keturunan ini terhapuskan akibat perkawinan antara keturunan
Manarah dan Banga. Hal ini terjadi pada masa Rakean Wuwus.
Sunda Merdeka
Banga
menggantikan Tamperan sebagai Raja Sunda keempat sejak tahun 739 M sampai
dengan 766 M. Namun ada juga pendapat bahwa Banga raja Kerajaan Sunda yang
ketiga karena Tamperan sebenarnya tidak pernah berdomisili di Sunda, ia hanya
menjabat sebagai Duta Patih Sunda di Galuh.
Akibat
Perjajian Galuh terpaksa kedudukan Banga harus berada dibawah Galuh. Perjanjian
ini dirasakan Banga sangat merugikan posisinya. Posisi ini kebalikan ketika
Sanjaya dapat merebut tahta Galuh dari Purbasora. Sanjaya sebagai kakeknya
Banga tentu merasa kurang senang melihat kedudukan Banga yang dirugikan ini,
namun Sanjaya harus mentaati perjanjian tersebut. Kemudian ia secara diam-diam
menganjurkan Banga untuk memperkuat kerajaan Sunda.
Banga
melaksanakan ide kakeknya, setahap demi setahap ia menaklukan kerajaan-kerajaan
yang berada disebelah barat Citarum, hingga iapun menjadi raja Sunda yang kuat.
Pada tahun 759 M Bangga melepaskan diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan
kerajaan Sunda sebagai kerajaan Mahardika.
Tindakan Banga
menyulut kemarahan Manarah. Sekali lagi Resi Demunawan, Raja Saunggalah turun
tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah agar
menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah
kedudukan Sunda dan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai Negara yang
merdeka.
Peristiwa
ini menempatkan Resi Demunawan sebagai orang yang bijaksana dan memiliki visi
yang baik. Resi Demunawan pada Perjanjian Galuh menempatkan Sunda di bawah
Galuh. Hal tersebut merupakan upaya maksimal pada saat itu. Setelah keadaan
memungkinkan ia memenuhi janjinya untuk mensejajarkan Sunda dengan Galuh
sehingga dapat tercipta kerukunan yang abadi.
Bangga
meninggal pada tahun 766 M, berumur masih relatif masih muda, yakni 42 tahun.
Jika dilihat dari tahun kelahirannya, ia dilahirkan pada tahun 724 M, sehingga
ketika ia memegang tahta Sunda baru berumur 15 tahun. (***)
8.
Perpaduan Budaya
Banga
tentunya berada diposisi yang dirugikan akibat perjanjian Galuh, karena Sunda
menjadi dibawah kontrol Galuh. Posisi ini kebalikan ketika Sanjaya dapat
merebut tahta Galuh dari Purbasora yang menempatkan Galuh dibawah kontrol
Sunda. Konon kabar Sanjaya sebagai kakeknya merasa kurang senang melihat
kedudukan Banga yang dirugikan ini, namun Sanjaya harus mentaati perjanjian
tersebut.
Jika dilihat
dari tahun kelahiran Banga, yakni pada tahun 724 M, ketika ia memegang tahta
Sunda baru berumur 15 tahun. Masalah umur Banga dimungkin menjadi pertimbangan
penting sehingga Sunda berada di bawah kontrol Galuh, sehingga dalam suasana
yang penuh persaudaraan tersebut, maka Sanjaya dan Demunawan memutuskan agar
Manarah menjadi walinya. Namun rupanya para sejarawan tidak melihat adanya
spekulasi kearah sana, mengingat hubungan Sunda dan Galuh pada waktu itu
dianggap sangat tajam, sehingga keputusan ini pun hanya dilihat dari sisi
untung dan rugi, tidak dari nilai musyawarah yang sangat bersifat kekeluargaan.
Banga pada
periode selanjutnya secara perlahan menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada
disebelah barat Citarum, ia pun tentu mendapat restu dan bantuan Sanjaya,
hingga Banga menjadi raja Sunda yang kuat. Pada tahun 759 M Bangga melepaskan
diri sebagai bawahan Galuh. Dan menyatakan kerajaan Sunda sebagai kerajaan
Merdeka.
Tindakan
Banga dianggap menyulut kemarahan Manarah. Resi Demunawan, Raja Saunggalah
turun tangan untuk membantu menyelesaikan. Demunawan kemudian membujuk Manarah
agar menerima posisi ini. Demunawan pun meyakinkan Manarah bahwa sepantasnyalah
kedudukan Sunda dengan Galuh sejajar, masing-masing berdiri sebagai negara yang
merdeka.
Kesepakatan
ini akhirnya tercapai kembali. Banga meninggal pada tahun 766 M, masih berumur
42 tahun. Namun pada tahun 852, Rakeyan Wuwus, keturunan Banga menjadi pewaris
Sunda dengan Galuh, dikarenakan Linggabumi, keturunan Manarah tidak memiliki
keturunan.
Banga
mempunyai putera bernama Rakeyan Medang, ia menjadi raja Sunda selama 17 tahun
(766-783 M) dengan gelar Prabu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakeyan
Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakyan Hujungkulon atau Prabu
Gilingwesi (783 – 795 m), raja ini adalah putera Sang Manisri dari Puspasari,
putri Manarah. Kisah Manisri dan Puspasari diabadikan dalam cerita rakyat yang
terkenal dengan sebutan “Lutung Kasarung”. Tentu saja Manisri dianggap putra Sang
Hyang Ambu, karena memang Manisri tidak dikenal leluhurnya, sehingga masyarakat
menganggap ia turun dari Kahyangan.
Dalam kisah
selanjutnya, antara Sunda dengan Galuh, atau antara keturunan Manarah dengan
Banga telah terjadi perpaduan akibat perkawinan. Demikian pula pada tahun 852,
Rakeyan Wuwus keturunan Banga menguasai Sunda dengan Galuh, karena Prabu
Linggabumi, penguasa Galuh tidak memiliki keturunan, sedangkan Rakeyan Wuwus
menikahi adik dari Linggabumi. Inilah semangat mempersatukan antara keturuan
Sunda dengan Galuh.
Peristiwa
ini pun terjadi sebaliknya, karena Rakeyan Wuwus tidak memiliki keturunan, maka
tahtanya dilanjutkan suami adiknya, yakni Arya Kedaton, cucu dari Sang
Tariwulan penguasa Galuh. Arya Kedaton memerintah pada tahun 891 sampai dengan
895, ia bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuana. Namun tahta tersebut hanya
diduduki dalam waktu yang sangat
singkat, karena Ia dibunuh seorang Mantri Sunda yang fanatik, tidak mau tahta
Sunda diperintah orang Galuh.
Perpaduan
Sunda dengan Galuh semangatnya pada masa itu memang baru terjadi ditingkat
penguasa, tentunya sangat terkait dengan keberhasilan Resi Demunawan didalam
menginisiasi pernikahan antara keturunan Sunda, Galuh dan Saunggalah. Namun
ditingkat bawah dan masyarakat masing-masing masih memiliki perbedaan yang
cukup tajam, sehingga para akhli menganggap, antara Sunda dengan Galuh pada
masa itu masih memiliki perbedaan budaya dan tradisi yang sangat tajam dan
sulit dipadukan.
Entitas Sunda - Galuh
Menurut para
ahli sejarah sebagaimana ditulis dalam RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara
Sunda dengan Galuh dimasa lalu memiliki entitas yang mandiri, perbedaan tradisi
yang mendasar. Menurut Prof. Anwas Adiwilaga : Urang Galuh adalah Urang Cai
sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb
atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun.
Perbedaan
tradisi Sunda dan Galuh mungkin pada waktu itu dianggap menghambat hubungan
keduanya. Urang Galuh merasa kurang nyaman jika dipimpin keturunan Sunda,
demikian pula sebaliknya. Upaya menyatukan pernah dilakukan melalui perpaduan
atau perkawinan dikalangan para raja dan keluarganya. Seperti perkawinan
keturunan Manarah (Galuh) dengan Banga (Sunda), bahkan dikarenakan Manarah
tidak memiliki keturunan laki-laki, maka keturunan Bangga, Rakeyan Wuwus, yang
ditikahkan dengan adik Prabu Langlangbumi diangkat menjadi Raja Galuh.
Peristiwa
ini menandakan adanya perpaduan keturunan Manarah dan Banga. Namun penyatuan
tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan
mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam
Sunda dan Galuh) dengan sebutan urang sunda.
Diyakini
diantara kedua leluhur tersebut tidak memiliki rencana dan kesepakatan untuk
memilih nama dari gabungan kedua tradisi tersebut, seperti menggunakan nama
sunda atau Galuh atau Sunda Galuh. Namun nama ‘Sunda’ sejak abad ke-13 sudah
banyak digunakan untuk menyebut Urang Galuh dan Urang Sunda, bahkan
sumber-sumber berita luar sudah banyak menyebut penduduk yang ada di wilayah
Jawa Barat dengan istilah ‘Urang Sunda’. Mungkin juga Urang Sunda ketika itu
dianggap lebih berperan dibandingkan Urang Galuh. Sehingga entitas penduduk di
kedua wilayah tersebut disebut Urang Sunda.
Ada juga
yang menyebutkan, perbedaan budaya Sunda dan Galuh tidak mendasar, dibandingkan
dengan etnis lain. Masalah ini hanya di blow up oleh pihak penjajah, bertujuan
agar Urang Sunda dan Urang Galuh tidak bersatu, namun Sunda dan Galuh adalah
entitas yang sama, keduanya penerus generasi para penguasa ditatar Sunda,
khususnya penerus Tarumanagara. Walahuallam (**).
9.
Prasasti Cibadak
Sejarah
tentang Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja diketahui setelah Pleyte
menemukan prasasti Cibadak. Kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja Cri
Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip
mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).
Sebelum
ditemukannya prasasti Cibadak, sejarah ditatar Sunda seakan-akan berhenti tidak
diketahui ujungnya, sehingga penemuan prasasti Cibadak menemukan arah yang
jelas tentang kekuasaan di tatar Sunda pada masa lalu. Namun siapakah Sri
Jayabupati, dan darimanakah leluhurnya ?. Hal ini penting untuk diketahui,
mengingat masih ada versi yang berpendapat bahwa Sri Jayabupati berasal dari
luar tatar Sunda.
Leluhur Sri Jayabupati
Sepeninggalnya
Prabu Darmaraksa dari Galuh yang menjadi Raja Sunda Ke-9, tahta Sunda ke-10
diwariskan kepada Prabu Windu Sakti, putranya, dengan gelar Prabu Dewageung
Jayeng Buana (895-913 M). Ia digantikan oleh putranya, yakni Rakeyan Kamuning
Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916). Prabu Pucukwesi hanya memerintah selama
tiga tahun, karena ia di kudeta oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri,
bergelar Prabu Wanayasa (916 – 942 m).
Raja
berikutnya adalah Rakeyan Watuageng, dengan gelar Praburesi Atmayadarma
(942–954 m), menantu Prabu Wanayasa. Ia digulingkan oleh Sang Limbur Kancana,
putra dari Pucukwesi. Untuk kemudian Sang Limbur Kancana berkuasa pada tahun
954 sampai dengan 964 masehi. Berdasarkan asumsi penulis sejarah RPMSJB,
kemungkinan besar ia memerintah Sunda dari Galuh, karena ia beristri salah
seorang putri Galuh, keturunan Manarah. Pasca digulingkannya tahta ayahnya oleh
Prabu Wanayasa, ia menetap di Galuh. Pada saat meninggal ia bergelar Sang
Mokteng Galuh Pakwan (yang wafat di keraton Galuh).
Raja
berikutnya adalah putranya, yakni Rakeyan Sunda Sembawa (964–973 M), bergelar
Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayastru (mungkin juga Jagasatru), namun
raja ini tidak memiliki keturunan. Ia digantikan oleh suami adiknya, yakni
Rakeyan Jayagiri (973- 989 M), bergelar Prabu Wulung Gadung. Stelah dipusarakan
di Jayagiri ia digantikan oleh putranya, yakni Rakean Gendang atau Prabu
Brajawisesa (989 – 1012 M). Kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar
Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M) yang wafat dipertapaan, sehingga disebut
Sang Mokteng Patapan. Setelah wafat ia digantikan oleh putranya, yakni Prabu
Sanghyang Ageung (1019 – 1030 M), ia dipusarakan di tepi Situ Sanghyang,
terletak di Desa Cibalarik – Tasikmalaya. Dan inilah leluhur Sri Jayabupati
(1030 – 1042 M).
Sri Jayabupati
Pada masa
raja-raja diatas seolah-olah Sunda kehilangan catatan sejarah. Baru diketahui
jujutannya kembali pada Masa Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja, raja
Sunda ke-20 dari alur Tarusbawa. Keberadaan Sri Jayabupati terungkap setelah
Pleyte (1915 M) menemukan prasasti Cibadak– Sukabumi.
Setelah
Pleyte menemukan prasasti Cibadak, kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja
Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip
mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).
Prasasti
Cibadak terdiri dari 4 buah batu bertulis yang ditemukan dialiran Sungai
Citatih. 1 batu ditemukan di kampung Pangcalikan, sedangkan 3 batu ditemukan di
Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Sukabumi. Menurut para ahli sejarah,
prasasti tersebut dibuat pada tanggal 11 Oktober 1030.
Dalam
menjelaskan Sri Jayabupati, menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri
Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi
prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf,
bahasa dan gaya, namun juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di
lingkungan Keraton Darmawangsa.
Tokoh Sri
Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Datia Maharaja
yang berkuasa selama tujuh tahun. Urutan dari sirsilah Sri Jayabupati dari
Banga berdasarkan, diuraikan, sebagai berikut :
Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu
tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu
bener. - Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun. - Rakeanta
Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun. - Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu
tujuhpuluh dua taun. - Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun,
kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe. - Rakean Gendang lilana jadi ratu
tilulikur taun. - Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun. - Prebu Sanghiang
lilana jadi ratu sawelas taun. - Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh
taun.
Prasasti Cibadak
Batu
tersebut saat ini disimpan di Musium pusat, diberi nomor D-73, D-96, D-97 dan
D-98.
73 :
//O// ''Swasti shakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadashi
shuklapa-
ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri-
ka diwasha nira prahajyan sunda ma-
haraja shri jayabhupati jayamana-
hen wisnumurtti samarawijaya shaka-
labhuwanamandaleswaranindita
harogowardhana wikra-
mottunggadewa, ma-''
D 96 :
gaway tepek
i purwa sanghyang tapak
ginaway
denira shri jayabhupati prahajyan
sunda. mwang
tan hanani baryya baryya cila. I
rikang lwah
tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan
sanghyang tapak wates kapujan
i hulu, i
sor makahingan ia sanghyang tapak
wates
kapujan i wungkalagong kalih
matangyan
pinagawayaken pra-
sasti
pagepageh. mangmang sapatha.'
D 97 :
sumpah
denira prahajyan
sunda.
lwirnya nihan.
D 98 :
indah ta
kita kamung hyang hara agasti phurbba
daksina
paccima uttara agniya neri-
ti bayabya
aicanya urddhadah rawi caci patala jala
pawana
hutanasanapah
bhayu akaca teja sanghyang mahoratra
saddhya
yaksa raksa-
sapicara
preta sura garuda graha kinara mahoraga
catwara
lokapala
yama baruna
kuwera bacawa mwang putra dewata pan-
ca kucika
nandiwara mahakala du-
rggadewi
ananta surindra anakta hyang kalamrtyu
gana bhuta
sang prasidha milu manarira
umasuki
sarwwajanma ata regnyaken iking sapatha
samaya
sumpah pamangmang na lebu ni pa-
duka haji i
sunda irikita kamung hyang kabeh .......
paka-
dya umalapa
ikan .......
i sanghyang
tapak ya
patyananta
ya kamung hyang denta
t patiya
siwak kapalanya cucup uteknya belah dada
mya imun
rahnya
rantan
ususnya wekasaken pranantika ......
...... i
sanghyang kabeh
tawathana
wwang baribari cila irikang Iwah i
sanghyang
tapak apan
iwak pakan
parnnahnya kapangguh i sanghyang ...
..... maneh
kaliliran
paknanya
kateke dlaha ning dlaha ....
.... paduka
haji sunda umade-
makna
kadarman .... ing samangkana wekawet
paduka haji
sunda sanggum
nti ring
kulit kata karmanah ing kanang ...
... i
sanghyang tapak makatepa
iwah
watesnya i hulu i sanghyang tapak i ....
...... i
hilir mahingan i-
Rikang .....
umpi ing wungkal gde kalih. I
Wruhhanta
kamung
hyang kabeh
??Q?? (RPMSJB, Jilid Ketiga, hal 12)
Terjemaahan
dari prasasti tersebut pada initinya, berintikan tentang :
Selamat.
Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang,
Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowar
dhana Wikramottung gadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh
Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hulu sampai batas daerah kabuyutan
sanhyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar.
Untuk tujuan
tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah
oleh raja Sunda yang bunyi lengkap demikian :
Sungguh indah kamu sekalian Hiyang
Siwa, Agatsya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur
laut, zenith, nadir, matahri, bulan, bumi, air, angin, sernja, yaksa, raksasa,
pisaca (sebangsa peri), sura, garuda, buaya, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan
putera dewata Pancakusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta
(dewa ular), Surindra, putra Hyang Kalamercu, gana (makhluk setengah dewa),
buta (sebangsa raksasa), para arwah semoga ikut, menjelma merasuki semua orang,
kalian gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini.
Prasasti
Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati telah membuat tapak disebelah timur
kabuyutan sanghyang tapak. Dibagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan
tersebut orang dilarang menangkap ikan. Mungkin pada saat itu penduduk
disekitar prasasti sangat taat terhadap keyakinannya dan sangat takut terhadap
kekuatan gaib, sebagaimana ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tanpa
hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti himbauan tersebut.
Suatu hal
yang merupakan ciri umum, prasasti-prasasti di tatar Sunda (sejak masa
Tarumangara) pada umumnya ditemukan di bekas lokasi kabuyutan, seperti prasasti
Kawali, prasasti Galunggung dan Batutulis, namun tak pula dapat dihindari jika
prasastu tersebut banyak pula yang ditemukan di bantara sungai, seperti
prasasti ciaruteun dan kebon kopi. Dalam hal ini menandakan bahwa peranan
kabuyutan dan sungai memiliki peranan yang sangat vital dimasa lalu.
Keberadaan
prasasti di Cibadak pernah menjadi spekulasi bagi para ahli sejarah. Pertama,
tentang pusat pemerintahan Sunda waktu itu, tak kurang para ahli yang
mensinyalir bahwa ibukota Sunda pernah ada di wilayah tersebut. Namun
keberadaan prasasti di kabuyutan tersebut tentunya tidak berarti harus menjadi
pusat pemerintahan, karena kabuyutan memiliki peranan yang strategis dalam
kehidupan masyarakat Sunda, baik sebagai daerah yang disucikan maupun tempat
menuntut ilmu.
Kedua,
prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuna dianggap daerah ini pernah menjadi
bawahan Raja Erlangga. Namun jika dilihat dari tanggal pembuatannya, tidak
mungkin Erlangga berada diwilayah ini, mengingat ketika itu ia disibukan
menundukan kerajaan disekitar Jawa Timur, baru selesai setelah lima tahun ia
berkuasa. Keberadaan prasasti Cibadak di sekitar Citatih dianggap tidak lajim
jika dibuat oleh raja bawahan.
Perkawinan
Menurut
naskah Wangsakerta, tanda tersebut memang dibuat oleh Sri Jayabupati sebagai
tanda penobatannya. Sri Jayabhupati dikenal-kenal memerintah Sunda pada tahun
1030 – 1042 masehi, ia putra Sanghyang Ageung yang dipusarakan di Situ
Sanghyang. Namun sampai sekarang belum terungkap hubungannya dengan makam
keramat yang ada di Situ Sanghyang Cibalanarik, Tasikmalaya.
Penggunaan
corak Jawa Timuran didalam prasasti tersebut dapat dipahami, mengingat Sri
Jayabhupati adalah menantu Prabu Darmawangsa dari Jawa Timur. Ia memperistri
adiknya Dewi Laksmi, istri Erlangga. Antara Erlangga dengan Sri Jayabhupati
memiliki mertua yang sama. Sedangkan gelar Sri Jayabhupati adalah hadiah
perkawinan dari mertuanya, sama halnya dengan gelar yang diterima Erlangga.
Sri
Jayabhupati juga memperistri putri melayu, putra mereka kemudian berjodoh
dengan putri Sriwijaya. Selain itu, dua orang putri Sri Jayabhupati juga
diperistri oleh menteri dari Bali dan Jawa Timur. Demikian pula kemenakannya,
ada pula yang diperistri oleh Raja Wura wuri. Konon raja ini membunuh
Darmawangsa, kemudian didalam prasasti Calcutta dikenal dengan itsilah pralaya.
Darmawangsa disebut pula Sang Mokteng Kadatwan ( yang gugur di keraton).
Kisah
pembunuhan Darmawangsa konon kabar merupakan pemberontakan Sriwijaya yang
dilakukan tidak langsung. Hal ini dianggap sebagai balas dendam Sriwijaya,
mengingat sejak tahun 900 an Sri Wijaya harus tunduk kepada Darmawangsa setelah
menderita kekalahan dalam pertempuran. Untuk itulah Sriwijaya menggunakan
tangan Wurawuri.
Tentang
kekerabatan ini, diuraikan dalam Pustaka Nusantara I/2, :
“Mangkana ta hana pakadangan pantara raja
Criwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Tguh mwang raja
Bali. Dadekya yudha nira kawalya rumebut yacawiryya mwang ahyun pinuja” (ada
pertalian kekerabatan antara Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa
Dharmawangsa Teguh dan raja Bali. Jadi, peperangan diantara mereka itu hanyalah
perebutan kemashuran dan ingin dipuja).
Ketika
peristiwa pembunuhan Darmawangsa, Sri Jayabhupati masih berkedudukan sebagai
putra mahkota. Tentu menjadikan posisinya menjadi pelik bagi Sunda. Disisi lain
Pustaka Nusantara I/3 menjelaskan, bahwa :
Lawan mangkana Sunda i Bhumi Jawa
Kulwan nityacah dumadi wyawahara pantara ning rajaraja Criwijaya, Jawa, Cina,
Cola mwang akweh manih rajya lenya. I sedeng raja haneng Bhumi Jawa Kulwan
yatiku rajya Sunda lawan rajya Ghaluh tan ahyun ri sewaka ring sira kabeh, tan
angga dumadi mandalika nira (Dengan demikian, Sunda di Bumi Jawa Barat selalu
menjadi rebutan diantara raja-raja Sriwijaya, Jawa, Cina, Cola, serta
negara-negara lain ; sedangkan raja di Bumi Jawa Barat yaitu Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh tidak mau tunduk kepada mereka semuanya, tidak ingin menjadi
raja bawahan mereka).
Pasca Sri Jayabhupati
Sri
Jayabupati wafat pada tahun 1042 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu
Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakala sundabuana, putranya yang dikenal pula
dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena ia dimakamkan di Winduraja,
Kecamatan Kawali, Ciamis. Dari posisi ini disinyalir, bahwa pusat kekuasaan
Sunda waktu itu berpusat disebelah timur, tidak di Pakuan.
Posisi Desa
Winduraja di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis saat ini diyakini menyimpan
misteri kepurbakalaan, bahkan dengan dimakamkannya Darmaraja dilokasi ini
disinyalir pemerintahan Sunda pernah terletak di kawasan timur, tidak di
Pakuan. Data lokasi tersebut didukung pula dengan adanya makam Prabu
Darmakusuma (1157 - 1175 M) yang dipusarakan di Winduraja.
Prabu
Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M)
atau sang mokteng Kerta. Mungkin sekali salah seorang cucunya diperisteri oleh
penguasa Kadiri – Janggala, yakni Maharaja Jayabuana Kesanananta Wikramo
tunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun
memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu.
Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari
sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari, pelarian dari Kediri sebagaiamana yang diceritakan
dalam Babad Galuh.
Para
pengganti Sri Jayabupati, menurut Fragmen Carita Parahyangan sampai dengan
Prabu Maharaja, di uraikan sebagai berikut :
Pengganti Nu hilang di winduraja
lilana jadi ratu tilulikur taun. - Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan
puluh dua taun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah
ripah. - Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan
dalapanwelas taun. - Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang
Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. - Nu ngajadikeun para
kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina
parahiangan. - "Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda
pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. - Boga anak nu
hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun. - Boga anak deui nu hilang di
Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun. - Boga anak nu hilang di Kikis, lilana
jadi ratu dualikur taun. - Nu hilang di Kiding, lilana jadi ratu tujuh taun. -
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun. - Boga anak, Prebu
Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa
cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
Cag Heula (*).
10. Galunggung
Geger Hanjuang
Sri
Jayabupati digantikan oleh puteranya, yaitu
Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakalasundabuana, berkuasa pada tahun
1042 - 1065 M, didalam Fragmen Carita Parahyangan disebutkan : Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu
tilulikur taun. Darmaraja dikenal pula dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena
dimakamkan di Winduraja.
Pengganti
Darmaraja adalah Prabu Langlangbumi yang bertahta pada tahun 1065 – 1155 M.
Fragmen Carita Parahyangan menyebutnya : Nu
hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan puluh dua taun, lantaran ngukuhan
kana lampah anu hade, ngadatang keun gemah ripah.
Pada masa pemerintahan Langlangbumi dianggap membawa kerajaan Sunda pada
kesentausaan. Peristiwa sejarah yang menarik dalam masa pemerintahan
Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti yang ditemukan di Galunggung dekat bukit Geger
Hanjuang, oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak
di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti tersebut kemudian disebut Prasasti ‘Geger Hanjuang’ atau Prasasti
‘Galunggung’.
Prasasti
Geger Hanjuang sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor D-26. Isi
prasasti itu ditulis dalam huruf dan bahasa Sunda Kuna yang cukup terang untuk
dibaca. Walaupun hanya tiga baris pendek namun di dalamnya tercantum tanggal
dan tahun.
Isi prasasti
tersebut, sebagai berikut :
tra ba i
gune apuy na-
sta gomati
sakakala rumata-
k disusu(k)
ku batari hyang pun
Menurut RPMSJB (1983 – 1984) : Prasasti tersebut bertanggal tra (trayodasi = ke-13) ba (badramasa = bulan Badra) atau tanggal 13 bulan Badra (Agustus/September) tahun 1 (gomati) 0 (nasta) 3 (apuy) 3 (gune). Arti lengkapnya ialah : Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang. - Karena tidak disebutkan paksa (separuh bulan) dalam prasasti ini digunakan sistem amanta (perhitungan tanggal dari bulan baru ke bulan baru) yang hitungan tanggalnya diteruskan sampai 30. Perhitungan menurut tarih Masehi kira-kira tanggal 21 Agustus 1111 masehi. (RPMSJB, buku ketiga, hal 17).
RPMSJB menjelaskan
pula, bahwa : Rumatak oleh penduduk
setempat disebut Rumantak, bekas ibukota Kerajaan Galunggung yang terletak
tidak jauh dari bukit Geger Hanjuang tempat prasasti itu ditemukan. Disusuk berarti dikelilingi dengan parit
untuk pertahanan. Berita serupa dapat di temukan dalam prasasti Kawali dan
Batutulis di Bogor. Sedangkan tokoh Batari
Hyang di duga sebagai penguasa Kerajaan Galunggung waktu itu, adalah
keturunan dan ahli waris Resiguru Sempakwaja pendiri Kerajaan Galunggung. (Ibid).
Kerajaan Galunggung
Pengaruh
Galunggung terhadap perkembangan sejarah di tatar Sunda tidak
terlepas dari eksistensi Resi Demunawan untuk menyatukan Sunda dengan Galuh,
terutama ketika masa Sanjaya dan Manarah. Resi Demunawan mempersatukan Sunda
dengan Galuh melalui perkawinan Manarah, Banga dan keturunan Saunggalah.
Pengaruh dari Galunggung tersebut terlihat pula pada proses terbentuknya
Perjanjian Galuh.
Pasca Resi
Demunawan, Galunggung masih tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mengingat
sejak pertama diperintah oleh Sempakwaja, Galunggung sudah menjadikan dirinya
Negara Agama atau “Kebataraan”.
Kerajaan
Galunggung telah ada pada Jaman Sempakwaja, putra Wretikandayun, pendiri
Galuh (670). Daerah Galunggung diberikan Wretikandayun kepada Sempakwaja
seiring dengan diangkatnya Amara – Mandiminyak, adik Sempakwaja sebagai putra
mahkota Galuh. Sempakwaja diberi gelar Resiguru di Galunggung dengan gelar Batara
Danghyang Guru. Menurut RPMSJB : “Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh
Singaparna (berbahasa sunda berhuruf arab) dan berasal dari bagian akhir ada
ke-19 masih menyebutkan tokoh sempakwaja diantara generasi pertama Kerajaan
Galunggung. Ia masih dikenal dan disebut dalam berbagai mantra dan do’a. Ia
sudah “didewakan” orang” (Buku Ketiga, hal.18). Mungkin yang dimaksudkan
sudah “didewakan” sama halnya dengan
pemahaman saat ini, yakni “dianggap orang suci”, karena peranannya dimasa lalu.
Galunggung
dari masa kemasa memainkan peranan yang cukup penting, terutama sebagai
pengimbang Galuh dan Sunda. Pada tahun
723 M, Sempakwaja pernah menyerahkan Galunggung beserta daerah bawahannya
kepada putranya, Resi Demunawan sebagai bagian dari pembentukan Saung Galah.
Resi Demunawan dikenal pula dengan sebutan Sang
Seuweu Karma atau didalam carita Parahyangan dikenal dengan sebutan Rahiyang Kuku.
Kekuasaan
Galunggung dalam tradisi silam dianggap sebagai sumber ilmu, karena ia dirikan
sebagai “kerajaan agama”. Galunggung menurut Fragmen Carita Parahyangan
memiliki batas sebelah utara gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar, dan
sebelah selatan Ciwulan.
Berdasarkan
catatan sejarah Kabupaten Tasikmalaya, eksistensi Galunggung dimulai pada abad
ke VII sampai abad ke XII, Kerajaan tersebut
sekarang menjadi Kabupaten Tasikmalaya.
Pemerintahan Galunggung pada masa awal berbentuk “Kebataraan”. Galunggung
mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru
dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung.
Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Sempakwaja,
Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Sejak
masa Batara Hyang pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari
kebataraan menjadi kerajaan, sehingga disebut Kerajaan Galunggung.
Pada abad ke
18 kerajaan tersebut masih ada dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di
Singaparna. Karena alasan Historis, penduduk Kampung Naga di Salawu tabu
menyebut nama Singaparna, mereka tetap menggunakan nama Galunggung.
Tentang
Kerajaan penguasa Galunggung, yakni Hyang Batari dikenal adanya ajaran –
tetekon hirup yang dikenal sebagai Sang
Hyang Siksakanda ng Karesian, ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi
pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran.
Kerajaan Galunggung bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan
Batari Hyang.
Batari Hyang
disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu
disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang
Siksakandang Karesian) disebut sang sadu
jati atau sang bijaksana atau sang budiman. Memang unik karena
"pencipta" ajaran kesejahteraan hidup yang harus menjadi pegangan
para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita. Namun sampai saat ini belum
ada sejarah yang membeberkan masalah ini. Biasanya ajaran demikian merupakan
dominasi laki-lali dan bersifat maskulin, terutama ketika menyangkut masalah
agama atau keyakinan. Demikian pula alasan Batari Hyang membangun parit
pertahanan sebagai perlindungan pusat pemerintahannya sampai saat ini juga
belum dapat dijelaskan.
Amanat
Galunggung
“Raja yang tidak bisa
mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit
musang yang tercampak di tempat sampah”. Demikian cuplikan dari Amanat
Galunggung yang dikenal pula dengan sebutan Amanat Prabu Darmasiksa.
Amanat ini
disampaikan oleh Prabu Darmasiksa raja Saunggalah kepada Rajaputra yang kelak
menggantikannya di Saunggalah, sebelum Prabu Darmasiksa pindah ke Pakuan (1187)
untuk menjadi raja Sunda yang ke-25. Dari kropak 632, yang ditulis pada daun
lontar, diketahui, Rajaputra dimaksud adalah Sang Lumahing Taman.
Isi kropak
632 yang dijelaskan tersebut adalah dari “ajaran pembuat parit Galunggung”,
sedangkan tokoh pembuat parit Galunggung dalam prasasti Geger Hanjuan dikenal
dengan nama “Batari Hyang”. Ajaran ini digunakan oleh Prabu Darmasiksa untuk
menasehati putranya, namun nasihat tersebut ditujukan pula untuk semua anak
cucunya, keturunannya kelak.
Jika dicermati lebih jauh, naskah ini
memuat tentang tata politik pada jaman dahulu kala, sedangkan fungsi Kabuyutan
digunakan sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Dari naskah ini
diketahui peran Kabuyutan pada waktu itu, yakni merupakan salah satu pilar
penting dari keberadaan negaranya, merupakan pusat kekuatan gaib raja dan
kerajaannya.
Dalam
periode lainnya kabuyutan disebut dangiang Sunda, tempat harga diri urang sunda
dipertahankan, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja, bahkan dianggap
sakral. Sehingga jika gagal melindungi kabuyutan Galunggung, ia (rajaputra) lebih
hina dari derajatnya kulit lasun ditempat sampah. Demikian pentingnya kabuyutan
bagi kelangsungan negara menurut pemahaman urang Sunda dimasa silam.
Kegaiban
raja dan kerajaannya yang dimaksud mungkin menyangkut kekuatan spiritual dari
nilai-nilai yang ada dan diajarkan didalam lingkup kabuyutan. Ia bisa menjadi
tuntutan perilaku para pemimpin dalam menjaga negerinya dan menjaga tradisi
Sunda.
Amanat
Galunggung bukan suatu judul naskah yang langsung ditulis demikian, namun
disebutkan bagi sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy Garut.
Penamaan terhadap kumpulan naskah menjadi ‘Amanat Galunggung’ diberikan oleh
Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah ini pada tahun 1987. Menurut RPMSJB : Isi kropak tersebut yang dijelaskan sebagai “ajaran
pembuat parit di Galunggung” (Batari Hyang) justru merupakan nasehat Darmasiksa
kepada putranya sebelum ia berangkat ke Pakuan” (Buku ketiga, hal 20)
Naskah yang
dikatagorikan sebagai salah satu naskah tertua di Nusantara ini diperkirakan
disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah. Naskah ini
menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda.
Jika
dihubungan dengan Prabu Darmasiksa yang diceritakan dalam naskah Amanat
Galunggung, menyebutkan Darmasiksa pernah memerintah Sanggalah II. Nama keraton
tersebut sama dengan nama Keraton Resi Demunawan di Kuningan, yakni Saunggalah.
Pada periode berikutnya berubah menjadi Saunggatang
atau Saungwatang, terletak di Mangun
reja. Ketiga nama tersebut berarti sama, yakni Rumah Panjang, suatu
julukan yang wajar disebutkan pada masa itu untuk sebuah Keraton.
Didalam
penelusuruan tentang hubungan Saunggalah I dengan Saunggalah II ditafsirkan,
bahwa Saunggalah II kelanjutan dari Saunggalah I. Pendapat ini tentu akan
mempengaruhi terhadap penafsiran Prabu Darmasiksa, sehingga ia disebut-sebut
masih keturunan Resi Demunawan.
Beberapa
penafisran sejarah mencoba menghubungkan bibit buit Rakyan Darmasiksa, pada
akhirnya menyimpulkan muasal leluhurnya dari Kendan. Jika kita menyoal masalah
Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh, sehingga tak heran jika
banyak masyarakat yang menafsirkan Amanat Galunggung terkait erat dengan
nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu. Konon kabar, ajaran
Sunda Wiwitan yang sekarang dijadikan tetekon hidup justru berkembang di
wilayah ini, tidak di Pakuan, yang kadang pacaruk dengan ajaran lain sehingga
susah menemukan identitas dari ajaran Sunda Wiwitan.
Didalam
carita Parahyangan disebutkan Darmasiksa, atau Prabu Sanghyang Wisnu memerintah
selama 150 tahun, namun di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun,
yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. Sebagai bahan
perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa
pemerintahannya. Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M,
penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya
Kerajaan Majapahit (1293 M).
Menurut
Carita Parahyangan yang mengisahkan sejarah Galuh, naskah yang diberi nama
Amanat Galunggung memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan)
yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Masa ini terkait dengan kisah
perebutan tahta Galuh oleh sesama keturunan Wretikandayun, yakni antara
anak-anak mandi minyak disatu pihak dan anak dari Sempak Waja dan Jantaka.
Sehingga secara politis, Sanggalah dijadikan kunci penting dalam menyelesaikan
pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun.
Kemudian
masalah eksistensi Sanggalah, tentunya tidak dapat pula dilepaskan dari
eksistensi Demunawan yang memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya,
baik sekandung maupun dari seluruh teureuh Kendan. Karena sekalipun tidak
pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu mempengaruhi pola
kebijakannya. Teka-teki tentang pengaruh dan kewibawaan Demunawan, yang dituruti
semua pihak yang bertikai di Galuh inilah yang mungkin dapat dijadikan
sandaran, bahwa Demunawan memang seorang tokoh agama, yang menjadi cikal bakal
Kerajaan Saunggalah I, mempunyai suatu “ajaran”. Kemudian dianut pula oleh
keturunannya yang menjadi Raja di Saunggalah I (Kuningan) dan kemudian pindah
menjadi raja di Saunggalah II (Mangunreja / Sukapura) yaitu Prabu Guru
Darmasiksa.
Prabuguru
Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I. Letak wilayah tersebut
disinyalir di desa Ciherang, Kadugede, Kuningan. Kemudian diserahkan kepada
puteranya dari istrinya yang berasal dari Darma Agung, yang bernama Prabu
Purana (Premana).
Amanat
Prabuguru Darmasiksa dari setiap halaman, diberi nomor sesuai terjemahan yang
diberikan oleh Saleh Danasasmita (1987). Sistematika rangkuman tersebut terbagi
dalam 4 bagian, yakni : (1) Amanat yang bersifat pegangan hidup / tetekon
hirup. ; (2) Amanat yang bersifat perilaku yang negatif (non etis) ditandai
dengan kata penafian “ulah” (jangan) dilakukan. ; (3) Amanat yang bersifat
perilaku yang positif (etis) ditandai dengan kata imperatif “kudu” (harus) ;
(5) Kandungan nilai, sebagai interpretasi penulis.
11. Keutuhan
Sunda
Didalam bab
terdahulu telah diuraikan tentang Prabu Darmasiksa dan kaitannya dengan Amanat
Galunggung. Ia memiliki visi penting tentang peranan Kabuyutan dan spirit atas
nilai-nilai Galunggung yang perlu dipertahankan oleh anak cucunya. Namun
siapakah Prabu Darmasiksa ? dan sebesar apakah peranannya terhadap ajegna
Kerajaan Sunda ?.
Prabu
Darmasiksa didalam Fragmen Carita Parahyangan disebutkan memerintah selama 150
tahun, namun di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak
tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. Sebagai bahan perbandingan ada 10
penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya. Ia naik
tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala
Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293
M).
Carita Parahyangan menceritakan Darmasiksa sebagai titisan Dewa Wisnu yang
mengikuti Sanghyang Rama dan mengamalkan Sanghyang Siksa. Fragmen tersebut,
sebagai berikut :
·
Diganti ku
Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang
binajapanti.
·
Nu
ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang
tarahan tina parahiangan. "Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu
mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Pustaka
Nusantara II menerangkan bahwa permaisuri Darmasiksa keturunan
Sanggramawijayottunggawarman, penguasa Sriwijaya yang bertahta sejak tahun 1018
sampai dengan 1027 M. Dari pernikahannya melahirkan dua orang putra, yakni
Rakeyan Jayagiri atau Rakeyan Jayadarma dan Sang Ragasuci atau Rakeyan
Saunggalah, dikenal pula dengan sebutan Sang Lumahing Taman.
Rakeyan
Jayadarma dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari Tumapel Jawa Timur,
bernama Dyah Lembu Tal, sedangkan putranya yang kedua, yakni Ragasuci
dijodohkan dengan Dara Puspa, putri Trailpkyaraja Maulibusanawarmadewa, dari
Melayu. Sedangkan Dara Kencana, kakak dari Dara Puspita diperistri oleh
Kertanegara, raja Singosari.
Darmasiksa
mencoba memperbaiki hubungan antara Melayu dengan Singosari melalui tali
perkawinan putra-putranya. Dengan posisi demikian ia mampu menempatkan Sunda
menjadi negara yang netral diantara dua kekuatan yang berseteru.
Perjanjian
Sriwijaya – Kediri
Pada masa
Darmasiksa memang Sunda tidak memiliki angkatan laut yang kuat, sebagaimana
yang dimiliki Sriwijaya dan Jawa Timur. Hal ini terjadi pula pada masa ia
memindahkan wilayahnya ke Saunggalah II, sehingga menyebabkan pantai utara Jawa
Barat menjadi sarang bajak laut, dan berangsur-angsur pelabuhan bagian utara
Cimanuk secara de facto menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya.
Di Jawa
Timur sejak masa Jayabaya (1135 – 1159 M), Kediri mulai berkembang, ia memiliki
angkatan laut sebanyak tiga laksa (+ 30.000) prajurit. Kediri makin
berkembang pesat setelah dipegang oleh cucunya, yakni Sri Maharaja Aryeswara
(1171 – 1181 M), sering juga dipanggil Prabu Angling Darma. Namun ia tidak
berhasilkan mengalahkan Sriwijaya dilaut.
Setelah
wafat ia diganti oleh putranya, yakni Sri Ganda (1181 – 1185 M) dengan gelar
Prabu Ajipanasa Sri Kroncaryadipa. Sri Ganda melanjutkan keinginan ayahnya
untuk mengalahkan Sriwijaya. Pertempuran tersebut terjadi di perairan Sunda,
kedua belah pihak menderita kekalahan dan mundur ke basis masing-masing.
Akhirnya kedua pihak tersebut memintakan bantuan Maharaja Cina untuk memberikan
perlindungan.
Pada tahun
1182, Maharaja Cina mengabulkan permohonan bantuan tersebut dengan menyarankan
agar keduanya berdamai, kemudian menyepakati untuk mengadakan perdamaian.
Perjanjian dimaksud dilakukan di Sundapura.
Perundingan
damai dipimpin langsung oleh Duta Cina, disaksikan oleh negara-negara sahabat
kedua belah pihak, termasuk raja Sunda. Hasil perundingan disepakati, bahwa
Sriwijaya dan Kediri hanya boleh bergerak di wilayahnya masing-masing, yakni
Sriwijaya bergerak dikawasan Nusantara sebelah barat sedangkan Kediri disebelah
timur Nusantara.
Posisi dari
hasil perundingan ini menggugah pula Darmasiksa, untuk memindahkan Sunda
kewilayah yang dekat dengan pantai. Maka pada tahun 1187 ia memindahkan pusat
pemerintahannya ke Pakuan, Keraton yang semula didirikan oleh Maharaja
Tarusbawa.
Ekspansi
Singasari ke Sriwijaya (Pamalayu)
Pada tahun
1182 M terjadi babak baru perubahan perpolitikan di Jawa Timur. Ken Angrok
berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menjadi Akuwu Tumapel. Cucu dari Ken
Angrok dari Ken Umang, yakni Mahisa Campaka disebut-sebut lebih akrab
berhubungan Sunda, sehingga terjadi persahabatan diantara Sunda dengan Tumapel.
Pada masa
Jayawisnuwardana, raja Tumapel yang berkuasa dari tahun 1250 – 1268 M, cucu Ken
Dedes dari Tunggul Ametung ini berbesanan dengan raja Melayu. Dengan posisi ini
Darmasiksa memiliki posisi yang strategis dari pertalian perkawinannya. Ia
berbesanan dengan raja Melayu dan raja Tumapel, ia pun merupakan kerabat
Sriwijaya dari trah istrinya.
Pada
masa-masa itu Sriwijaya sedang mengalami penurunan pamor, namun mendapat perlindungan
Maharaja Cina. Di Jambi telah berdiri kembali kerajaan Melayu, bernama Melayu
Darmasraya. Peristiwa lainnya dalam tahun 1128 M telah berdiri kerajaan Islam
pertama di Pasai, diperintah oleh Sultan Abdul Al-Kamil. Selain itu pada tahun
1151 M di Perelak berdiri pula negara Islam dibawah Sultan Alaidin Syaj (1151 –
1186 M). Negara Islam kecil tersebut mendapat dukungan dari Mesir, Gujarat dan
Singasari, sehingga berani menentang Sriwijaya.
Pada tahun
1275 M Sultan Makhdum Abdul Malik Syah menyatakan bahwa Perlak tidak lagi
dibawah Sriwijaya. Sebelum mengeluarkan statement tersebut terlebih dahulu
meminta bantuan Kertanagara, penguasa Singasari sahabat Melayu. Karena bantuan
Singasari belum tiba maka Perlak dapat ditundukan Sriwijaya dan Sultan Makhdum
gugur.
Kertanegara
serta merta mengirimkan pasukannya yang besar, dibawah pimpinan Mahisa
Anabrang. Pasukan ini pun singgah selama dua hari di Sunda, sekaligus untuk
mengetahui informasi tentang kekuatan Sriwijaya. Kemudian pada tahun 1275
Sriwijaya dapat ditundukan Singasari.
Kekalahan
Sriwijaya disebabkan baru saja menyerang Melayu, sehingga semua sumber daya
sudah terkuras. Kedua Cina sebagai pelindung Sriwijaya pada saat itu memang
sedang disibukan dengan melakukan penyerangan ke wilayah perbatasannya, dibawah
pimpinan Kublai Khan.
Jaka Susuruh
atau Raden Wijaya
Rakeyan
Jayadarma sebagaimana kisah diatas dinikahkan dengan putri Mahisa Campaka dari
Tumapel Jawa Timur, bernama Dyah Lembu Tal. Dari pernikahan Rakeyan Jayadarma,
ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Sang Nararya Sanggramawijaya
atau sering disebut Raden Wijaya. Namun Jayadarma wafat pada usia muda,
sehingga Dyah Lembu Tal memohon ijin untuk tinggal di Tumapel bersama putranya.
Raden Wijaya setelah dewasa ia menjadi senapati Singasari, pada waktu itu
diperintah oleh Kertanegara, hingga pada suatu ketika ia mampu mendirikan
negara Majapahit. Raden Wijaya didalam Babad Tanah Jawi dikenal juga dengan
nama Jaka Susuruh dari Pajajaran, karena ia memang lahir di Pakuan.
Dalam
Pustaka Nusantara III dijelaskan, bahwa Darmasiksa masih menyaksikan Raden
Wijaya, cucunya mengalahkan Jayakatwang, raja Singasari. Kemudian dengan taktis
ia mampu menyergap dan mengusir laskar Kublay Khan dari Jawa Timur. Kemudian
empat hari pasca pengusiran pasukan Cina, atau pada 1293 M, Raden Wijaya
dinobatkan menjadi raja Wilwatika dengan gelar Kertarajasa Jayawardana.
Peristiwa
yang juga direkam didalam Pustaka Nusantara III tentang Darmariksa memberikan
nasehat kepada Raden Wijaya, cucunya. Ketika itu Raden Wijaya berkunjung ke
Pakuan dan mempersembahkan hadiah kepada kakeknya, sebagai berikut :
Haywa ta
sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak
ira dlahanyang ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya santosa wruh
ngawang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrum, ngke pinaka mahaprabu.
Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang
Sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda paraspasarpana atuntunan tangan silih
asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawati rajya
sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duh kantara, wilwatika
sakopayana maweh carana ; mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
(Janganlah hendaknya kamu menggangu,
menyerang dan merebut Bumi Sunda karena telah diwariskan kepada Saudaramu bila
kelak aku telah tiada. Sekalipun negaramu telah menjadi besar dan jaya serta
sentosa, aku maklum akan keutamaan, keluar biasaan dan keperkasaan mu kelak
sebagai raja besar. Ini adalah anugrah dari Yang Maha Esa dan menjadi
suratan-Nya. - Sudah selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling
membantu, bekerjasama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu
janganlah beselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian akan
menjadi keselamatan dankebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan Sunda mendapat
kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh memberikan bantuan ;
demikian pula halnya Kerajaan Sunda kepada Majapahit).
Dari uraian
diatas tentunya dapat disimpulkan, bahwa Darmasiksa memiliki peranan yang cukup
besar terhadap keutuhan Sunda. Dilakukan tidak menggunakan kekuatan militer,
melainkan dengan cara Diplomasi. Kiranya keindahan leadership Darmasiksa patut
dicontoh oleh generasi berikutnya. Selain ia ahli agama dan memegang erat
tetekon keyakinannya, ia pun mampu menjalankan fungsinya sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan.
Penerus
Darmasiksa
Darmasiksa
wafat tahun 1297 M. Sebelumnya ia telah menunjuk Citraganda (1303 – 1311 M),
cucunya putra Prabu Ragasuci untuk memerintah di Pakuan. Ia sejaman dengan
Raden Wijaya (1293 – 1309) dan Jayanegara (1309 – 1311 M) di Majapahit.
Sedangkan sebelum perpindahan lokasi pemerintahan ke Pakuan, di Saunggalah
masih dipegang oleh Ragasuci. Untuk kemudian Ragasuci meninggal dan dikuburkan
di Taman (Tasik). Mungkin ini juga akhirnya Ragasuci disebut Sang Lumahing
Taman.
Pada masa
Citraganda pakuan dianggap sudah mulai redup, karena di timur sudah muncul kota
baru yaitu Kawali. Sehingga putranya, Prabu Linggadewata (1311 - 1333 M) menjalankan
pemerintahannya yang berkedudukan di Kawali, sedangkan Pakuan sempat menjadi
raja daerah. Pakuan baru berfungsi kembali sebagai ibukota Sunda pada tahu 1482
M. Pada masa itu dikenal sebagai periode awal kejayaan Pajajaran (***)
12.
Perpindahan Ibukota
Konon menurut salah satu versi, antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa
Barat sering diramaikan oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah
tempat. Salah satu peristiwa kepindahan ini diabadikan oleh
Kai Raga, dari gunung Srimaganti (Cikuray), didalam Carita Ratu Pakuan. Cuplikan kisah ini digambar, sebagai berikut :
Dicarita
Ngabetkasih
Kadeungeun
sakamaruna
Bur payung
agung nagawah tugu
Nu sahur
manuk sabda tunggal
Nu deuk
mulih ka Pakuan
Saundur ti
dalem timur
Kadaton
wetan buruhan
Si mahut
putih gede manik
Maya datar
ngaranna
Sunijalaya
ngaranna
Dalem Sri
Kencana Manik
Bumi ringit
cipta ririyak
Di Sanghyang
Pandan Larang
Dalem si
Pawindu Hurip
Keyakinan
dalam menetapkan kedudukan ibukota pemerintahan
tidak terlepas dari masalah keamaman negara dan kesejahteraan rakyatnya. Didalam paradigma masyarakat tradisional
dapat pula dipengaruhi oleh dorongan spiritual. Karena sifatnya yang
selalu berpindah-pindah didalam masyarakat modern ditafsirkan
sebagai masyarakat nomaden. Hal yang sama pada pasca kemerdekaan dilakukan pula
oleh masyarakat yang berada di Sukabumi Selatan, atau masyarakat Cipta Gelar,
namun yang perlu dipahami adalah latar belakang kepindahannya, bukan hanya
melihat sifatnya yang kerap berpindah-pindah.
Ibukota di
timur
Pada abad
ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan
Saunggalah, yaitu Kawali yang berlokasi di tengah segitiga Galunggung,
Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV Galuh dan Sunda kerap
disangkut pautkan dengan Kawali, bahkan dua orang Raja Sunda dipusarakan di
Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Gejala
peralihan pusat pemerintahan sudah nampak pada masa pemerintahan Prabu Ragasuci
(1297 - 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (Prabu Darmasiksa), ia
tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan, karena ia sendiri
sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja Saunggalah menggantikan
ayahnya. Tetapi pada ketika digantikan pleh Prabu Citraganda, pemerintahan
dipusatkan di Pakuan.
Prabu
Darmasiksa menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang
bernama Citraganda. Permaisuri Ragasuci adalah Dara Puspa (Puteri Kerajaan
Melayu) adik Dara Kencana isteri Kertanegara.
Citraganda
tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk
sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan, sedangkan raja Sunda
yang dijabat ayahnya berkedudukan Saunggalah. Citraganda dipusarakan di Tanjung.
Kemudian digantikan oleh Prabu Lingga Dewata, ia diperkirakan berkedudukan di
Kawali, ia disebut-sebut sebagai raja peralihan, karena para penggantinya
berkedudukan di Kawali.
Raja-raja di Kawali
Prabu Lingga Dewata digantitkan oleh Prabu Ajiguna Wisesa (1333 - 1340),
menantunnya yang menikah dengan Dewi Uma Lestari atau Ratu
Santika. Ajiguna Wisesa diperkirakan sudah berkedudukan di Kawali. Dari
pernikahannya ia memiliki dua orang putra, yakni Ragamulya dan Suryadewata.
Ragamulya menggantikan posisi Ajiguna Wisesa sebagai raja Sunda, ia bergelar
Prabu Ragamulya Luhur Prabawa, bertahta dari tahun 1340 – 1350 masehi, dalam
Carita Parahyangan disebut Sang Aki Kolot, sedangkan Suryadewata disebut-sebut
sebagai leluhur kerajaan Talaga, ia menjadi raja daerah disana, namun ia wafat
ketika sedang berburu, dan dimakamkan di Wanaraja (Garut), sehingga ia diberi
gelar Sang Mokteng Wanaraja.
Aki Kolot mempunyai dua orang putra, yakni Linggabuana dan Bunisora. Kelak
keduanya menjadi raja di Kawali dan memiliki nama yang harum bagi sumbangsihnya
terhadap perjalanan sejarah di tatar Sunda.
Linggabuana menggantikan Sang Aki Kolot, dengan nama nobat Prabu Lingga
Buana (1350 – 1357), ia dikenal pula dengan sebutan Prabu Maharaja.
Setelah peristiwa Bubat ia dijuluki Prabu Wangi, sebagai
gelar kehornatan atas keberaniannya. Lingga Buana dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 saka,
bertepatan dengan tanggal 22 Februari 1350 masehi. Sebelum menggantikan posisi
ayahnya, ia pernah menjabat sebagai adipati selama tujuh tahun dibawah perintah
Sang Ajiguna, kakeknya. Kemudian ia pun menjadi Mahamantri merangkap sebagai
putra mahkota selama dua tahun dibawah perintah Aki Kolot, ayahnya.
Prabu Linggabuana mengalami peristiwa di bubat, yang disebut Pasunda Bubat.
Ia gugur di Bubat. Sebagai penggantinya (raja
panyelang) diteruskan oleh Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga
yang menyebut Prabu Kuda Lalean). Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di
Jampang. Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas.
Prabu Linggabuana beristrikan Dewi Lara Lisning. Dari
pernikahannya memperoleh empat orang putra fan putri. Putri sulungnya diberi nama Citraresmi, oleh kakeknya diberi nama
Dyah Pitaloka. Ia dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk, namun didalam Pasunda
Bubat ia gugur, dengan cara melakukan belamati.
Putra yang kedua dan ketiga Linggabuana meninggal pada usia satu tahun. Putra
yang keempat diberi nama Niskala Wastu Kencana yang lahir pada tahun 1348
masehi.
Ketika
terjadi Pasunda Bubat usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah
satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena seluruh kakaknya sudah
meninggal. Setelah pemerintahan di jalankan pamannya yang sekaligus juga
mertuanya, Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23
tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sakti puteri Lampung. Wastu
Kancana dikenal raja yang adil dan bijaksana, sehingga ia pun diberi gelar
Prabu Wangi Sutah.
Niskala
Wastu Kencana memiliki dua orang putra, yakni Sang Haliwungan, pasca penobatan
bergelar Prabu Susuktunggal. Dari permaisuri yang kedua (Mayangsari), puteri
sulung dari Bunisora, ia pun memiliki putra, diberi nama Ningrat Kancana,
setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.
Tentang Prabu Maharaja, Bunisora dan Niskala Wastu Kancana diterangkan di
dalam Carita Parahyangan. Tentunya banyak pujian yang dialamtakan kepada Niskala Wastu Kancana. Isi dari Carita Parahyangan tersebut,
sebagai berikut :
- Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina. - Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit. –
- Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. - Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. –
- Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. - Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. - Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. –
- Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. - Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. - Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. - Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Setelah Wastu Kancana wafat pada tahun 1475,
kerajaan dipecah dua, masing-masing dikuasai oleh Susuktunggal (Sunda) dan Dewa
Niskala (Galuh). Kerajaan tersebut hidup sedarajat dan berdampingan. Namun
politik kesatuan wilayah kembali membuat jalinan perkawinan diantara
putra-putri keduanya, dengan demikian kekuasaan Wastu Kencana bersatu
kembali.
Jayadewata, atau sering disebut Prabu Silihwangi, putera
Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih,
kemudian memperistri Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja
Singapura.
Sampai tahun
1482 pusat pemerintahan tetap berada di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 -
1482 adalah Jaman Kawali. Didalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat di
sebut-sebut Kawali pernah menjadi pusat pemerintahan Sunda.
Nama Kawali
diabadikan di dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang
tersimpan di "Astana Gede " Kawali. Prasasti tersebut menegaskan
"mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya
yang disebut Surawisesa dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip"
(keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Ibukota
kembali ke Pakuan
Kejatuhan
Prabu Kertabumi (Bre Wijaya V) Raja Majapahit pada tahun 1478, secara tidak
langsung mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari
kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah
seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi.
Raden
Baribin beserta rombongannya diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala
bahkan kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala
dari salah seorang istrinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah
jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi
salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Perkawinan
dengan pengungsi tersebut didalam Carita Parahiyangan disebutkan "istri
larangan ti kaluaran", karena sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton
Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut
"perundang-undangan" seorang wanita yang bertunangan tidak boleh
menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan
pertunangan. Dalam hal ini Dewa Niskala dianggap telah melanggar dua peraturan
sekaligus dan sebagai raja dianggap berdosa besar.
Kehebohan
pun tak terelakkan. Susuktunggal, raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala
mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah
dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama
mengundurkan diri.
Prabu Dewa
Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada Jayadewata, putranya. Demikian
pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada
menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu,
kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Jayadewata
memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan karena ia telah lama tinggal di Pakuan
untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi
Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya,,,,,,,,,,,,,,